10 April, 2018

SURAU BINTUNGAN TINGGI DAN NASKAH KUNO ISLAM


SURAU BINTUNGAN TINGGI : DULU DAN KINI

Melihat jejak histories Islam di Pariaman memang membuat kita takjub akan keberadaan lembaga surau di sana. Rasa kental beragama, taat beribadah dan kaya dengan khazanah tradisi Islam menjadi pemandangan indah, indah karena hidup dalam batasan moril, religiusitas serta budaya yang beraneka ragam.

Surau, itulah tempat awal dan akar perkembangan Islam di sini, yang nantinya membias seantero jagat alam Minangkabau dengan jaringan ulama yang luas. Eksistensi surau menjadikan tolak ukur kemajuan islam di suatu daerah kala itu. Sehingga tidak berlebihan bila kehidupan keislaman orang Minang tak terlepas dari surau, sebuah bangunan yang kebanyakan dibuat dengan susunan-susunan papan tetapi dari dalamnya lahir intan berlian, pemenuhi jagat cakrawala intelektual Islam masa sekarang.

Kehidupan di surau bukanlah sesederhana yang kita bayangkan, lebih komplek malahan dari rumus-rumus trigonometri. Mengapa begitu, karena kehidupan surau bukan hanya terjalin secara tampak, sama halnya kajian eksakta, tapi lebih dari itu jalinan kehidupan surau dibuhul dengan tali spitual, rohani, hal-hal yang abstrak istilah ilmiahnya.

Kehidupan surau sendiri dapat kita lihat dengan adanya guru yang mengajar dalam hal ini dipegang oleh seorang Syekh atau Tuanku. Guru inilah yang menjadi titik nadi kehidupan surau, karena dari beliaulah para murid-murid berdatangan menimba ilmu-ilmu keislaman yang luas dan komprehensif. Hal selanjutnya yang kita lihat yaitu adanya kajian-kajian Islam yang komplit, mulai dari dasar-dasar agama, lingua yang menjadi alat, sampai kepada kajian-kajian tingkat tinggi yang hanya disampaikan kepada orang-orang yang mempunyai pemahaman yang dalam.

Hal selanjutnya yang dapat kita lihat dari kehidupan surau yaitu adanya murid-murid, di Minangkabau dikenal dengan istilah orang siak. Murid-murid inilah yang berkumpul siang, pagi dan petang, membaca kaji, mensurah kitab sampai kepada menghafal pelajaran menjadi pemandangan harian yang mewarnai eksis-nya sebuah surau. Dalam kasus surau-surau yang berpengaruh, murid-murid ini pada hari-hari tertentu menyebar ditengah-tengah masyarakat, meminta sedikit sumbangan untuk bekal mengaji ketika kiriman dari kampung belum datang. Masyarakatpun merasa senang memberi pangan untuk para penuntut ilmu ini, sebab mereka merasa sangat lekat dengan ilmu. Memuliakan orang yang menuntut ilmu, sama dengan memuliakan ilmu, pahala yang bukan kepalang kita dapatkan, begitulah kesadaran masyarakat kala itu, sangat bertolak belakang dari realitas masa sekarang. Murid-murid yang meminta tunjangan bekal belajar ini dikenal dengan istilah mamakiah ( berasal dari kata fakiah ).

Fungsi surau bukan hanya untuk mengaji seperti diatas, malah lebih komplek seperti yang dibayangkan. Disamping menjadi pusat kajian Islam, surau juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah, tempat tinggal anak laki-laki, berajar adat, pusat latihan beladiri masa lalu, pokoknya pusat aktifitas sosial agama di desa-desa Minangkabau. Sehingga mengkaji surau, berarti kita mengkaji seluruh elemen yang ada ditengah-tengah masyarakat. Apakah itu adat, budaya, tradisi dan istimewa dalam agama.

Dalam gambaran adat Minangkabau pra-Islam telah terjalin hubungan yang erat antara lembaga keagamaan ( surau ) sebagai pusat ibadat dengan kerajaan sebagai pusat kekuasaan. Jalinan inilah nantinya dipertegas setelah Islam masuk ke Minangkabau dan dianut oleh masyarakat. Hal ini diisyaratkan oleh pepatah syara’ mangato, adat mamakai (agama yang memberi fatwa dan agama yang melaksanakan), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan sangat aib bila orang minang dikatakan sebagai orang yang tidak beradat, atau tidak beragama.

Penyebaran Islam ke Minangkabau berawal dari tumbuhya tradisi surau sebagai tonggak tua pengenalan Islam di daerah ini, namun masih banyak ilmuan yang menguaknya secara jelas. hal ini disebabkan oleh belum banyaknya intelektual Islam yang menggeluti asal usul masuknya Islam ke Minangkabau, kecuali beberapa orang saja. Dalam hal ini Syekh Burhanuddin Ulakan yang sebelumnya telah menjalin hubungan dengan Syekh Abdurra’uf Singkel di Aceh. Beliau adalah satu-satunya ulama yang telah mengembangkan Islam sebelum masa kolonial Belanda.

Di Minangkabau nama Syekh Burhanuddin tidak asing lagi bagi masyarakatnya, ia dikenal terutama dikalangan generasi tua sebagai tokoh pertama penyebar Islam di Negeri ini. Namanya harum dan ajarannya mewarnai pola pikir dan cara kehidupan masyarakat. Kenyataan ini sangat mungkin diyakini dan sulit dipungkiri, karena masing-masing suku dari berbagai daerah di Minangkabau mempunyai surau. Suatu aib kalau suatu suku dalam satu kampung tidak mempunyai surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah. Salah satu surau berpengaruh yang merupakan lahir dari eksistensi surau Ulakan yaitu surau Bintungan Tinggi.

Keberadaan surau Bintunagn Tinggi tidak terlepas dari keberadaan seorang ulama kharismatik dan berpengaruh di Ulakan dan Bintungan Tinggi, dialah Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Beliau adalah hasil didikan ulakan yang cemerlang pada zamannya, yang paling berperang diantara khalifah-khalifah Ulakan lainnya dalam melanjutkan usaha dan ajaran Syekh Burhanuddin Ulakan.

Sebelum kita mengenal eksistensi surau Bintungan Tinggi dalam mengembangkan agama Islam kala itu. Kita mesti terlebih dahulu mengetahui serta mengnal tokoh sentral surau Bintungan Tinggi yaitu Syekh Abdurrahman.

Syekh Abdurrahman lahir pada tahun 1827 H / 1243 masehi, dari pasangan Syekh Ibnu Muttaqin dengan Pik mande yang bersuku sikumbang. Ayah beliau sendiripun seorang ulama disegani pada zamannya dan juga merupakan anak langsung dari Syekh Abdurrahman Ulakan, Khalifah Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan.

Perjalanan intelektual Syekh Bintungan Tinggi sendiri dimulai ketika belajar kepada ayahnya sendiri, Syekh Ibnu Muttaqin atau yang lebih dikenal dengan panggilan Syekh Tabat Yada. Tak kurang dari sepuluh tahun beliau diasuh oleh ayahnya sendiri mempelajari seluk beluk keislaman secara utuh. Yaitu mulai pada tahun 1248 H – 1258 H. bersama ayahnya Syekh Bintungan Tinggi mulai mengenal keilmuan Islam. Beliau telah mempelajari Fiqih, Tafsir Jalaein, Nahwu Sharaf, Ushul Fiqih, Hadist dan Musthalah-nya disamping mempelajari seluk beluk kajian al Qur’an.

Tepatnya, ketika Syekh Abdurrahman berumur 15 tahun, beliau diantar oleh ayahnya untuk mengaji ke Ulakan, tepatnya di surau Syekh Burhanuddin Ulakan. Seketika itu yang menimpin lembaga pendidikan Ulakan ialah Syekh Ja’far Thahir, sedangkan dalam urusan Tarekat masih dipegang oleh Syekh Sultan Qusa’I Habibullah, khalifah Syekh Burhanuddin yang ke-10.

Syekh Abdurrahman belajar di Ulakan selama 17 tahun, yaitu mulai tahun 1258 sampai 1275. didalam masa belajar di Ulakan inilah Syekh Abdurrahman pernah mendalami ilmu di Mekah al Mukarramah (1272-1274), yaitu selama 2 tahun.

Setelah keilmuannya telah terasa matang oleh pandangan batin gurunya, maka pada tahun 1275, beliau telah diberi ijazah oleh gurunya Syekh Sultan Qusa’I Habibullah, sebagai guru hakiki-nya disamping Syekh Ja’far Thahir sebagai gurunya di surau Ulakan. Pewisudahan Syekh Abdurrahman terjadi pada acara khatam maulid Nabi Muhammad SAW, setelah gurunya melihat Syekh Abdurrahman fana dalam maqamnya, tepatnya 12/13 Rabi’ul Awwal 1275 H, ketika itu beliau langsung diberi gelar Syekh Tuanku Mudo Abdurrahman.

Setelah beliau menamatkan pendidikannya di Ulakan, beliaupun menjalankan amanah gurunya Syekh Sultan Qusa’I untuk mengabdi di Ulakan, mengajar dan mendampingi Syekh Ja’far Thahir. Syekh Abdurrahman mengajar di Ulakan selama 7 tahun, sejak 1275 sampai 1282 H. setelah gurunya Syekh Sultan Qusa’I meninggal, beliaupun mengundurkan diri dari Ulakan dan mendirikan lembaga sendiri, di tanah milik istrinya Hj. Siti Malai, lembaga pendidikan itu dikenal dengan nama Surau Bintungan Tinggi.

Surau itu didirikan pertama kali pada tahun 1283 H/1864 H, sejak itulah surau Bintungan Tinggi menjadi lembaga pendidikan terkemuka di Pariaman, sama halnya dengan surau Syekh Burhanuddin Ulakan. Sehingga dalam sekejap saja, murid-murid berdatangan silih berganti untuk menimba ilmu pengetahuan di Bintungan Tinggi. Tercatat tak kurang dari seribu murid yang menghadiri pengajian mengelilingi guru besar, Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi. Murid-murid tersebut datang dari berbagai pelosok negeri, seperti Bengkulu, Sumatera Utara dan Riau. Mereka tinggal tak kurang dari 17 surau-surau kecil yang berada disekitar surau utama, surau Bintungan Tinggi.

Pada periode selanjutnya, surau Bintungan Tinggi mengalami pemugaran masih semasa Syekh Abdurrahman. Pemugaran itu terjadi pada tahun 1908 M. pemugaran itu sendiri atas dorongan dari keluarga besar Syekh Abdurrahman, dorongan itu berbentuk moril dan materil.

Hasil dari pembangunan ulang surau Bintungan Tinggi itu sendiri lebih besar dari surau sebelumnya, yaitu menjadi 11,5x11,5 m dengan bahan kayu yang didatangkan langsung dari Sungai Sarik dan 2x11 Enam Lingkung Padang Pariaman. Dan pembangunannya sendiri dijalankan oleh arsitek pribadi Syekh Bintungan Tinggi yaitu Tuanku Katib Koto Baru.

Setelah bebrapa tahun mengajar murid-murid yang sangat banyak, maka pada tahun 1923 beliau menutup usia dengan meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi generasi berikutnya. Beliau kemudian di makamkan di sebuah gobah yang telah dibangun pada masa Syekh Abdurrahman masih hidup. Kubah tersebut terletak di depan surau Syekh Bintungan Tinggi sendiri.

Setelah Syekh Bintungan Tinggi wafat, maka kepeminpinan surau Bintungan Tinggi diteruskan oleh khalifah-khalifahnya yang telah berjumlah 5 generasi sampai saat ini, nama-namanya yaitu :

1. H. Abdullah Tuanku Mudo,
2. H. Zubaidi Tuanku Mudo,
3. M. Nasir Tuanku Bandaro,
4. Muhammad Ma’az Tuanku Lunak ( wafat 1972 )
5. Tuanku Mudo Asdil Ma’az (sekarang).

Sedangkan barang-barang berharga milik Syekh Bintungan Tinggi termasuk naskah-naskahnya disimpan oleh Bapak Asril Ma’az, BA.

Diantara peninggalan Syekh Bintungan Tinggi yang sangat berharga itu ialah Naskah-naskah keagamaan, yang menurut perhitungannya berjumlah sebanyak 36 buah. Naskah-naskah inilah yang banyak dilirik oleh para peneliti, untuk dibaca dan dipublikasikan, sebagai usaha melestarikan naskah-naskah tersebut.

Walaupun sakarang zaman telah berubah seiring berputarnya waktu, nilai-nilai masyarakat yang telah bergeser, peradaban yang kian terkikis, namun surau Bintungan Tinggi masih tegak seperti sediakala, walau disana sini dipugar, surau Bintungan Tinggi masih menjadi pusat keagamaan ditengah masyarakat Bintungan Tinggi. Walaupun sekarang tak ada lagi yang mengaji kitab seperti dulu, namun Tarekat masih dipegang erat, naskah-naskah sebagai warisan masih dipelihara dengan baik, sebagai alternatif terakhir kontraksi dari zaman yang memprihatinkan.

Begitulah adanya sekarang, memang membuat hati pilu. Namun kita masih menang, sebab kita punya naskah, yang bisa dibuka kapan saja kita buka, yang dapat kita kaji, walau tak seperti dulu.
[post_ads]

NASKAH-NASKAH KUNO SURAU BINTUNGAN TINGGI

Sebagai warisan yang amat berharga, masyarakat telah mulai menyadari akan usaha pelestarian naskah. Memang ironis, bila seorang pewaris naskah-naskah kuno membiarkan warisan tersebut sebagai barang terbuang. Bahkan ada yang menumpuk-menumpuknya disudut rumah, membiarkan berkabut dan habis dimakan usia.

Naskah-naskah yang berisi teks-teks ilmu pengetahuan tersebut berisi dengan ilmu pengetahuan yang berbagai macam, sangat beruntung sekali orang-orang yang dapat memanfaatkannya, menjadikannya referensi untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun yang dimaksud dengan teks adalah kandungan atau isi naskah. Teks sendiri terdiri dari isi dan bentuk. Teks mengandung ide-ide atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Sedangkan bentuknya berisi muatan cerita atau pelajaran yang hendak dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya dan lain sebagainya.

Dengan demikian didalam naskah-naskah yang umurnya sudah ratusan tahun tersebut tersimpan perbendaharaan, sebagai budaya orang-orang dahulu. Ilmu-ilmu yang dibukukan itu sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang bila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Begitu halnya dengan naskah-naskah kuno yang terdapat di Surau Bintungan Tinggi. Disamping sebagai warisan, ajaran-ajaran naskah tersebut masih dijaga dengan baik dalam realitas kehidupan masyarakat Bintungan Tinggi. Walau sekarang amat jarang kita temui orang-orang yang membukanya, kecuali sedikit tuanku-tuanku yang telah kurang populasinya saat sekarang ini.

Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, bahwa ada terdapat sekitar 36 naskah yang telah teridentifikasi oleh penelitian-penelitian mutakhir. Naskah-naskah tersebut berisi antara lain :
1. Al Qur’an dengan seluk beluk tafsirnya
2. Fiqih
3. Ilmu Nahwu Sharaf
4. Sejarah
5. Mazhab Syafi’i
6. Sejarah Rasulullah dan kisah-kisah
7. Tasawwuf

Ilmu Tasawwuf adalah teks terpenting yang menjadi perbendaharaan Bintungan Tinggi. Naskah-naskah tersebut umunya ditulis dengan bahasa Arab, disamping bahasa Melayu.

Kecemasan memang menyelimuti hati orang-orang yang cinta ilmu, sebab dengan adanya ancaman dari orang-orang yang tak bertanggung jawab dengan memperjual belikan naskah. Walaupun naskah-naskah surau Bintungan Tinggi dipelihara dengan baik oleh Bapak Asril Ma’az sebagai pewarisnya, namun jika nantinya tak ada lagi pewarisnya. Maka naskah tersebut akan terancam keberadaannya, di surau Bintungan Tinggi.
[post_ads_2]

 DESKRIPSI NASKAH ILMU TASAWWUF

Adapun naskah yang berhasil penulis peroleh gambarannya pada observasi filologi di Surau Bintungan Tinggi adalah Naskah ilmu Tasawwuf. Naskah tersebut tergolong naskah yang ditulis rapi dan jelas bagi orang yang membacanya. Secara umum deskripsinya dapat dilihat sebagai sebagai berikut.

Naskah tersebut oleh peneliti sebelumnya telah disampul dan diberi judul Naskah Ilmu Tasawwuf dengan kode naskah 16. naskah tersebut berukuran 23,5 x 16,5 cm dengan blog teks 17 x 9 cm.

Naskah tersebut terdiri dari 270 halaman. Setiap halamannya terdiri dari 17 baris. Menggunakan bahasa Arab dan bahasa Arab melayu dengan tinta yang dibedakan merah dan hitam.

Disini dapat diidentifikasikan bahwa teks yang bertulisan merah merupakan rumusan umum, berbentuk matan kitab sedangkan yang bertulisan hitam ialah penjelasan berupa syarah (komentar).

Tulisan naskah tersebut ialah khat Naskhi yang tidak terlalu rapi namun dapat dibaca dengan baik. Teks-teks setiap halamannya dibubuhi dengan cacatan-cacatan kecil untuk memberi keterangan dari teks, nampak bahwa cacatan-cacatan ini ditulis oleh penyalin dikemudian hari.

Walaupun memakai kertas eropa, namun tidak ditemui tanda air (water mark) untuk mengirakan umur naskah tersebut. Didalam naskah tersebut juga tidak ditemui kolofon, keterangan tentang judul dan pengarang naskah sehingga naskah ini seperti naskah melayu kebanyakan yang anonim (tanpa disebutkan pengarangnya).

Jilid naskah seperti naskah biasa yaitu dijilid dengan benang ditengah kuras-kurasnya sendiri. Keadaan naskah yang terlihat sudah lama membuat sebahagian teks tersebut ada yang tidak bisa dibaca akibat dimakan rayap.

Sedangkan isi naskah ialah tentang ilmu Tasawwuf , sebuah ilmu yang menjadi prioritas utama orang-orang Bintungan tinggi yang sebahagian besar bertarekat Syathariyah. Dari keterangan yang ada terdapat kejelasan bahwa naskah tersebut menceritakan tentang Zat dan Wujud Allah. Sangat singkron dengan Tarekat Syathariyah sendiri yang mengaji wujud dan zat. Maka ada indikasi bahwa maka naskah tersebut merupakan salinan dari kitab al Hikam, sebuah kitab yang terkenal di Indonesia dalam kajian Tasawwuf tingkat tinggi. Persis pula bahwa kita tersebut ditulis dengan dua aksara, Arab dan Melayu.Sumber   :    Oleh : Apria Putra-http://surautuo.blogspot.com


EmoticonEmoticon