13 April, 2018

Siti Nurbaya, Saling Mencintai tapi Tidak Memiliki


1341195706377846338
Mengunjungi Kota Padang, segera teringat kisah sedih Siti Nurbaya. Sedemikian melegenda kisah kasih itu, hingga dibuatkan monumen berupa jembatan Siti Nurbaya. Jembatan itu biasa saja, sederhana. Namun menyimpan gurat kesedihan yang tak terperikan. Tangis Siti Nurbaya seakan masih terdengar menggema di telinga, saat saya melintas di bawahnya, Sabtu 30 Juni 2012 kemarin.

Kisah kasih tak sampai, selalu menyedihkan. Marah Rusli mampu menggambarkannya dengan sangat hidup. Buku yang sudah berkali tamat saya baca ketika masih sekolah SD, namun ternyata tetap menarik bagi saya untuk kembali membacanya. Barusan saya membeli buku legenda itu lagi di Bandara Minangkabau, ketika hendak meninggalkan Padang, Senin 2 Juli 2012. Terbitan Balai Pustaka, cetakan ke-47, tahun 2010. Cetakan pertama buku itu tahun 1922 oleh penerbit yang sama.
[post_ads]
Agar tidak perlu repot menulis resensinya, saya ambilkan saja dari http://pelangiholiday.wordpress.com yang telah memposting ringkasan kisah Siti Nurbaya.

Siti Nurbaya, antara Syamsul Bahri dan Datuk Maringgih

Adalah Syamsul Bahri, seorang lelaki berwajah tampan dan berasal dari keturunan orang terpandang. Bapaknya adalah seorang Penghulu yang terpandang, yakni Sutan Mahmud. Ia jatuh cinta kepada seorang gadis jelita, Siti Nurbaya, yang berambut panjang bak mayang terurai serta santun budinya, anak dari Baginda Sulaiman. Jalinan cinta Siti dan Syamsul direstui oleh kedua orang tua yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Sutan Mahmud ayah Syamsul Bahri adalah mamak Siti Nurbaya.

Setelah menamatkan sekolah tingkat atas, Syamsul Bahri melanjutkan sekolah calon dokter di pulau Jawa. Tidak terperikan betapa sedih hati Syamsul Bahri yang harus meninggalkan kekasih pujaan hati. Air mata Siti Nurbaya berlinang membasahi pipi saat melepas Syamsul di pelabuhan Teluk Bayur, dan berharap cepat kembali bertemu. Saling berkirim surat cinta adalah pengobat rindu mereka berdua saat hidup terpisah.

Tahun berlalu musim berganti, musibah datang mendera keluarga Siti Nurbaya, usaha dagang ayahnya mengalami kebangkrutan, hingga jatuh miskin dan Baginda Sulaiman akhirnya jatuh sakit. Beliau meminjam uang kepada seorang rentenir yang berbadan kurus dan beristri banyak, bernama Datuk Maringgih. Hutang Baginda Sulaiman semakin bertumpuk dan berbunga pada Datuk Maringgih.

Suatu hari Datuk Maringgih pergi ke rumah Baginda Sulaiman yang sedang sakit untuk menagih piutangnya. Disanalah Datuk Maringgih terpesona melihat kecantikan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih memaksa Baginda Sulaiman agar menikahkan Siti Nurbaya dengan dirinya sebagai istri muda kalau tak sanggup membayar hutang.

Siti Nurbaya menolak, karena sudah punya kekasih. Tapi Siti Nurbaya tak berdaya dan akhirnya dipersunting oleh Datuk Maringgih yang berumur sebaya dengan ayahnya. Kabar tersebut sampai ke telinga Syamsul Bahri, hatinya sangat sedih dan mencoba bunuh diri.

Suatu hari Syamsul Bahri pulang ke Padang dan bertemu dengan Siti Nurbaya. Datuk Maringgih naik pitam dan meyebarkan fitnah yang menyudutkan Syamsul Bahri. Akhirnya ia di usir oleh ayahnya Sutan Mahmud. Syamsul Bahri kembali ke Jakarta , diam-diam ia menyamar jadi tentara kompeni Belanda, dengan nama samaran Letnan Mas.

Datuk Maringgih menjadi benci kepada Siti Nurbaya, puncaknya ia melampiaskan dendam dengan memberikan lemang beracun melalui pesuruh untuk diberikan kepada Siti Nurbaya. Tragis, Siti Nurbaya menemui ajalnya setelah memakan lemang beracun kiriman Datuk Maringgih.
[post_ads_2]
Pada saat tragedi Balesting dimana saudagar-saudagar pribumi tidak mau membayar upeti di bawah pimpinan Datuk Mariggih, dikirimlah Letnan Mas oleh Kompeni ke Padang untuk menumpas para pembangkang Balesting. Terjadilah peperangan satu lawan satu antara Letnan Mas dengan Datuk Maringgih.

Akhir cerita Letnan Mas yang tak lain adalah Syamsul Bahri tewas di ujung pedang, bersamaan dengan Datuk Maringgih juga roboh terkena tembakan Letnan Mas.

Andai Siti Nurbaya Hidup di Zaman Sekarang

Mengapa Siti Nurbaya mau menikah dengan Datuk Maringgih? Bukankah ia bisa melarikan diri, toh harga pesawat ada yang cukup murah. Ia bisa memesan jauh hari agar harga semakin murah. Bukankah Siti Nurbaya bisa telepon atau SMS kepada Syamsul Bahri yang masih sekolah di Jawa, janjian atau membuat kesepakatan tertentu. Kalau ingin mendapat dukungan publik, share saja kasus itu melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter, atau melalui blog, web dan milis.

Syamsul harusnya bisa datang ke Padang lebih awal setelah mendapat SMS dari Siti Nurbaya bahwa kondisinya terancam. Syamsul bisa mengajak pengacara yang terpercaya, apalagi yang mau gratis, untuk menyelesaikan kasus Baginda Sulaiman yang terlilit hutang kepada Datuk Maringgih. Laporkan saja Datuk Maringgih ke Kepolisian agar ditangkap karena ia orang jahat. Setelah itu, segera nikahi Siti Nurbaya, dengan urusan resmi ke KUA. Tidak perlu nikah siri.

Setelah menyelesaikan urusan di Padang, segera ajak Siti Nurbaya ke Jawa, untuk meneruskan studi lanjut. Ambil program spesialis, atau beralih ke jalur politik, agar kelak bisa kembali ke Ranah Minang untuk menjadi Bupati atau Gubernur. Maka berbahagialah hidup Syamsul Bahri dan Siti Nurbaya di Ranah Minang. Mereka dikaruniai anak-anak yang lucu dan baik.

Ah, jangan berandai-andai. Kenyataannya, takdir telah menuliskan Siti Nurbaya hidup di zamannya, untuk menjadi legenda kepedihan hati, karena kasih tak sampai. Jangan lagi ada orang sejahat Datuk Maringgih. Jangan ada lagi orang tua yang tega memaksa anaknya untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Jangan lagi ada warga yang kesulitan ekonomi sehingga terlilit hutang ke rentenir berwatak jahat.

Siti Nurbaya adalah pengingat kepada kita semua. Biarkan saja ia hidup di zamannya. Bahkan ternyata tetap hidup di zaman kita, sebagai legenda yang membawa pesan-pesan mulia.

Bandara Minangkabau, 2 Juli 2012
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/


EmoticonEmoticon