Secara umum, kedatangan Islam di Dunia Melayu-Indonesia telah memunculkan berbagai perkembangan dan dinamika baru, baik yang menyangkut kehidupan sosial-keagamaan masyarakatnya, maupun khazanah budaya dan keilmuannya. Konflik dan akomodasi antara nilai-nilai dan budaya Islam dengan budaya dan tradisi setempat, pada gilirannya berhasil memunculkan berbagai varian Islam di Dunia Melayu-Indonesia, yang biasa disebut sebagai “Islam lokal” (local Islam).
Tentu saja, karena lahir dalam konteks dan kultur yang berbeda, Islam lokal ini memiliki karakter dan nuansa khas yang agak berbeda dengan Islam yang disebut sebagai “great tradition” (Azra 2002: 2).
Di satu sisi, munculnya fenomena Islam lokal tersebut tidak jarang dipandang oleh sebagian peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari apa yang disebut sebagai Islam murni dan bersifat sinkretis (Geertz 1976). Akan tetapi, di sisi lain, tidak sedikit juga para sarjana yang bersikap lebih apresiatif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan bentuk artikulasi Islam di wilayah lain.
Masalahnya, perbedaan tersebut tidak sepatutnya dipandang sebagai bentuk Islam sinkretik —pernyataan yang pejoratif sebagai Islam tidak murni, melainkan justru merupakan sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya Islam itu sendiri (Woodward 1989). Selain itu, fenomena Islam lokal juga dapat dianggap sebagai usaha kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri (Hooker 1983: 1-22).
Demikianlah yang juga terjadi dengan fenomena tarekat Syattariyyah di Minangkabau. Tarekat ini untuk pertama kalinya dibawa ke Minangkabau oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan pada akhir abad ke 17, setelah ia belajar Islam dan menerima ijazah sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyyah dari Syaikh Abdurrauf Ali al-Jawi di Aceh.
Tarekat Syattariyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam pembentukan struktur masyarakat Muslim Minangkabau. Ulama-ulama setempat yang mengembangkan tarekat Syattariyyah di wilayah ini, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan hingga para khalifah dan murid-muridnya, telah mengalami pergumulan yang demikian intens dengan berbagai unsur dan karakter budaya lokal, sehingga pada gilirannya melahirkan sifat dan kecenderungan ajaran yang khas dan relatif berbeda dengan sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Syattariyyah di wilayah lain.
[post_ads]
“…disalin tarekat ini daripada tarekat Ulakan…Ungku Qadi Ulakan…wassalam, dari si penulis, H.K. Deram, PS Tandikat VII Koto Pariaman, 1-9-1992…”
Dari kolofon di atas, tampak bahwa yang bertindak sebagai pemilik ide atau pengarang adalah Ungku Qadi Ulakan, dan H. K. Deram, yang menyebut dirinya sebagai penulis, bertindak sebagai penyalin.
Tentang Ungku Qadi Ulakan sendiri, sejauh ini tidak banyak sumber tertulis lain yang menginformasikan lebih jauh identitasnya. Satu-satunya sumber yang menyebut nama tersebut adalah naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh, karangan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, yang menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang yang ia sebut sebagai Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi di Ulakan:
“…kemudian kami selidiki pula ke Ulakan yang bersangkut sejarah Syaikh Burhanuddin, adakah buku sejarah beliau? Diterangkan oleh Ungku Qadi Yusuf, kadi Ulakan, bahwa sejarah Syaikh Burhanuddin hilang di masa agresi Belanda dahulu…” (h. 4-5).
Dalam naskah tersebut juga diisyaratkan bahwa Imam Maulana Abdul Manaf Amin bertemu dengan Ungku Qadi Yusuf Ulakan menjelang tahun 1993, sedangkan naskah Pengajian Tarekat ini disalin tahun 1992. Artinya, diduga kuat bahwa Ungku Qadi Ulakan yang disebut sebagai pengarang naskah Pengajian Tarekat ini adalah Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi, semacam mufti, di Ulakan hingga sekitar tahun 1990-an.
Teks Pengajian Tarekat ditulis dalam bahasa Melayu Minangkabau dengan menggunakan tulisan Jawi berharakat dan bergaya khat naskhi. Penulisannya sendiri tergolong tidak terlalu rapi, kendati masih bisa dibaca. Penulis mendapatkan fotokopi naskah ini dari Adriyetti Amir, saat ini sebagai di Fakultas Sastra Unand, Padang.
Naskah Pengajian Tarekat ini mengemukakan pembahasan mendalam tentang berbagai ajaran tasawuf, antara lain mengenai hakikat makhluk (baca: manusia), hubungannya dengan Sang Pencipta. Di kalangan penganut tarekat Syattariyyah sendiri, materi pengajian tarekat ini sering disebut sebagai “pengajian tubuh”.
Disebutkan bahwa tubuh manusia terdiri dari dua sisi: bagian yang kasar (lahir) dan bagian yang halus (batin). Pada hakikatnya, bagian tubuh lahir tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batinlah yang menggerakannya. Pengarang menganalogikan hubungan tubuh kasar dengan tubuh halus ini dengan hubungan antara sangkar dan burung di dalamnya, jika burung bergerak, sangkar pun bergerak, demikian halnya jika burung diam, sangkar pun diam (Deram 1992: 1-3):
Hidup tubuh nan kasar dihidup tubuh nan batin
Tahu tubuh nan kasar ditahu tubuh nan batin
Kuasa tubuh nan kasar dikuasa tubuh nan batin
Barkahandak tubuh nan kasar dibarkahandak tubuh nan batin
Mandangar tubuh nan kasar dimandangar tubuh nan batin
Malihat tubuh nan kasar dimalihat tubuh nan batin
Barkata tubuh nan kasar dibarkata tubuh nan batin
Menurut pengarang, pengetahuan atas tubuh lahir dan tubuh batin ini penting untuk sampai pada penghayatan tentang hakikat Allah, karena pada hakikatnya, tubuh batin adalah ruh Allah yang ditiupkan kepada tubuh lahir, dan Dia-lah yang memiliki ‘hidup’, ‘tahu’, ‘kuasa’, ‘kehendak’, ‘mendengar’, ‘melihat’, dan ‘berkata’ tersebut, bukan dirinya sebagai tubuh lahir.
Jika seorang salik telah mampu keluar dari sifat-sifat lahiriyahnya, ia akan mengetahui bahwa dalam dirinya hanya ada kehendak Tuhannya, ia sendiri bagaikan mayat yang tidak memiliki kehendak dan keinginan apapun. Keadaan inilah yang disebut oleh pengarang sebagai “mati hakiki”, yaitu mati fana, atau “mati sabanar mati”, sebagai kebalikan dari “mati suri”, yang berarti keadaan mati seperti umumnya. Dalam teks (h. 4-5), pengarang mengatakan:
Tidak nan hidup
Tidak nan tahu
Tidak nan kuasa
Tidak nan barkahandak
Tidak nan mandangar
Tidak nan malihat
Tidak nan barkata
Melainkan Allah
Pengarang juga menganalogikan konsep tubuh lahir dan tubuh batin ini dengan konsep a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Menurutnya, tubuh lahir adalah a’yan kharijiyyah yang merasakan berbagai gejala fisik, sedangkan tubuh batin adalah a’yan tsabitah yang wujud dengan sebenar-benar wujud:
“...a’yan kharijiyyah tubuh nan kasar samangat yang tahu di sakit, padih, haus, dan lapar; a’yan tsabitah tubuh yang halus, si ujud ‘am nan sabanar-banar diri; ujud maĂșad Tuhan yang barnama Allah... (h. 6).
Hal penting lain yang dikemukakan dalam Pengajian Tarekat adalah tentang pentingnya seorang salik mengikuti segala perilaku Nabi; apapun yang dilakukan Nabi harus diikuti, demikian halnya apapun yang tidak dilakukan Nabi, hendaknya juga dihindari (h. 11-13). Hal yang unik berkaitan dengan kepatuhan ini adalah, pengarang selalu menempatkan posisi Syaikh (mursyid) setelah Nabi, bahkan dalam hal keimanan sekalipun. Artinya, yang harus dipatuhi setelah Allah dan Nabi adalah Syaikh (h. 14):
Bahasa iman percaya akan Allah akan Nabi akan guru
Bahasa Islam manjunjung titah Allah dan titah Nabi dan titah guru
Manjauhi tagah Allah tagah Nabi tagah guru
Pada dasarnya, substansi dari apa yang disebut sebagai “pengajian tubuh” di Minangkabau ini bukanlah merupakan wacana yang baru dalam konteks tasawuf sendiri, khususnya tasawuf falsafi, karena yang ingin dikemukakan terutama adalah mengenai hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dalam hal ini manusia.
Tema seperti ini tentu saja sudah sejak awal menjadi topik pembicaraan para sufi, termasuk tokoh-tokoh sufi dalam tarekat Syattariyyah. Abdurrauf Ali al-Jawi misalnya, dalam naskah Tanbih al-Masyi dan juga Syattariyyah, sebelum menjelaskan makna sesungguhnya dari doktrin wahdat al-wujud, terlebih dahulu mengemukakan pembahasan menyangkut hubungan ontologis antara Tuhan dan alam tersebut, antara al-Haq dan al-Khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Esa dan yang banyak, antara al-wujud dan al-maujudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat.
Akan tetapi, dalam konteks ekspresi ritual keagamaan lokal di Minangkabau, pengajian tubuh ini merupakan sesuatu yang khas dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat tarekat Syattariyyah yang berkembang. Hal ini dapat dilihat dari, setidaknya, dua alasan di bawah:
Pertama, pengajian tubuh benar-benar menjadi materi pokok dalam keseluruhan ajaran tarekat yang disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan ini. Hal ini tampak, antara lain, dari materi yang terdapat dalam naskah Pengajian Tarekat di atas yang memang memberikan penekanan pada pemahaman tentang hakikat penciptaan dan kehendak manusia, serta hubungannya dengan hakikat Zat dan kehendak Tuhan, selain tentu saja materi tentang tatacara zikirnya.
Selain itu, pengajian tubuh juga merupakan salah satu materi pokok yang selalu diajarkan oleh guru-guru tarekat Syattariyyah di Minangkabau dalam wirid pengajian khusus mereka, selain materi tasawuf lainnya.
Bagi para penganut tarekat Syattariyyah di Minangkabau ini, pengajian tubuh diperlukan sebagai landasan dan latihan (riyadah al-nafs) sebelum sampai kepada apa yang mereka sebut sebagai “kurrah”, yakni suatu usaha yang bertujuan guna mengembalikan tubuh yang kasar (a’yan kharijiyyah) kepada tubuh yang halus (a’yan Tsabitah). Selain itu, pengajian tubuh juga diyakini dapat menjadi sarana agar seorang penganut tarekat Syattariyyah mengenal diri (tubuh)nya, sehingga ia akan mampu menangkis segala godaan syetan dan hawa nafsunya (Yafas 1990: 7).
Kedua, materi pengajian tubuh merupakan bagian terpenting dalam berbagai ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah yang bersifat lokal. Hal ini antara lain terlihat dari keseluruhan materi dalam kesenian salawat dulang yang merupakan bentuk kesenian di Minangkabau dengan nuansa sufistis yang sangat kental (tentang Salawat Dulang, lihat, antara lain Amir 1996 dan Mardius 1995).
[post_ads_2]
Bentuk-bentuk ekspresi ritual Islam lokal seperti itu dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perpaduan antara Islam yang memuat berbagai ajaran, dalam konteks ini tasawuf, dengan adat atau tradisi lokal di Minangkabau, apalagi dalam konteks Minangkabau, masyarakatnya meyakini sebuah adagium: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mangato Adat Mamakai, Syarak Mandaki Adat Manurun.
Dalam konteks yang lebih besar lagi, ekspresi ritual Islam lokal seperti ini dengan sendirinya juga memberikan gambaran riil akan apa yang sering disebut sebagai “Islam lokal”, yakni suatu artikulasi dari “proses penerjemahan” Islam ke dalam sistem sosial-budaya, politik dan intelektual yang berlaku di suatu masyarakat (Hooker 1983).
Islam lokal mengandung dua konsep penting. pertama, ia adalah konsep tentang sebuah keadaan yang khusus dan unik dari suatu praktek keagamaan tertentu. Keunikan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi budaya lokal, tetapi juga bisa terjadi karena proses pembumian dari ajaran-ajaran normatif Islam ke dalam realitas; kedua, Islam lokal mengandung unsur sebuah proses yang terus berlanjut dari pertemuan dan interaksi budaya dan Islam dalam proses sejarah.
Dengan penjelasan di atas, maka berbagai ekspresi ritual Islam lokal, tidak hanya yang terjadi di Minangkabau, melainkan juga di wilayah lain, dapat dianggap sebagai contoh yang baik bagi persemaian Islam lokal, yang pada gilirannya menjadi kekayaan budaya tersendiri.
Penulis: Oman Fathurahman
http://oman.uinjkt.ac.id/2007/02/pengajian-tubuh-di-minangkabau.html
Tentu saja, karena lahir dalam konteks dan kultur yang berbeda, Islam lokal ini memiliki karakter dan nuansa khas yang agak berbeda dengan Islam yang disebut sebagai “great tradition” (Azra 2002: 2).
Di satu sisi, munculnya fenomena Islam lokal tersebut tidak jarang dipandang oleh sebagian peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari apa yang disebut sebagai Islam murni dan bersifat sinkretis (Geertz 1976). Akan tetapi, di sisi lain, tidak sedikit juga para sarjana yang bersikap lebih apresiatif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan bentuk artikulasi Islam di wilayah lain.
Masalahnya, perbedaan tersebut tidak sepatutnya dipandang sebagai bentuk Islam sinkretik —pernyataan yang pejoratif sebagai Islam tidak murni, melainkan justru merupakan sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya Islam itu sendiri (Woodward 1989). Selain itu, fenomena Islam lokal juga dapat dianggap sebagai usaha kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri (Hooker 1983: 1-22).
Demikianlah yang juga terjadi dengan fenomena tarekat Syattariyyah di Minangkabau. Tarekat ini untuk pertama kalinya dibawa ke Minangkabau oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan pada akhir abad ke 17, setelah ia belajar Islam dan menerima ijazah sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyyah dari Syaikh Abdurrauf Ali al-Jawi di Aceh.
Tarekat Syattariyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam pembentukan struktur masyarakat Muslim Minangkabau. Ulama-ulama setempat yang mengembangkan tarekat Syattariyyah di wilayah ini, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan hingga para khalifah dan murid-muridnya, telah mengalami pergumulan yang demikian intens dengan berbagai unsur dan karakter budaya lokal, sehingga pada gilirannya melahirkan sifat dan kecenderungan ajaran yang khas dan relatif berbeda dengan sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Syattariyyah di wilayah lain.
[post_ads]
'Pengajian Tubuh' dalam Naskah Pengajian Tarekat
Salah satu ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah yang bersifat lokal adalah apa yang disebut sebagai pengajian tubuh. Materi yang disebut sebagai pengajian tubuh ini terdapat, antara lain, dalam sebuah naskah berbahasa Minang, yang diberi judul Pengajian Tarekat. Di akhir teks ini terdapat kolofon yang menjelaskan bahwa:“…disalin tarekat ini daripada tarekat Ulakan…Ungku Qadi Ulakan…wassalam, dari si penulis, H.K. Deram, PS Tandikat VII Koto Pariaman, 1-9-1992…”
Dari kolofon di atas, tampak bahwa yang bertindak sebagai pemilik ide atau pengarang adalah Ungku Qadi Ulakan, dan H. K. Deram, yang menyebut dirinya sebagai penulis, bertindak sebagai penyalin.
Tentang Ungku Qadi Ulakan sendiri, sejauh ini tidak banyak sumber tertulis lain yang menginformasikan lebih jauh identitasnya. Satu-satunya sumber yang menyebut nama tersebut adalah naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh, karangan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, yang menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang yang ia sebut sebagai Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi di Ulakan:
“…kemudian kami selidiki pula ke Ulakan yang bersangkut sejarah Syaikh Burhanuddin, adakah buku sejarah beliau? Diterangkan oleh Ungku Qadi Yusuf, kadi Ulakan, bahwa sejarah Syaikh Burhanuddin hilang di masa agresi Belanda dahulu…” (h. 4-5).
Dalam naskah tersebut juga diisyaratkan bahwa Imam Maulana Abdul Manaf Amin bertemu dengan Ungku Qadi Yusuf Ulakan menjelang tahun 1993, sedangkan naskah Pengajian Tarekat ini disalin tahun 1992. Artinya, diduga kuat bahwa Ungku Qadi Ulakan yang disebut sebagai pengarang naskah Pengajian Tarekat ini adalah Ungku Qadi Yusuf, yang bertindak sebagai kadi, semacam mufti, di Ulakan hingga sekitar tahun 1990-an.
Teks Pengajian Tarekat ditulis dalam bahasa Melayu Minangkabau dengan menggunakan tulisan Jawi berharakat dan bergaya khat naskhi. Penulisannya sendiri tergolong tidak terlalu rapi, kendati masih bisa dibaca. Penulis mendapatkan fotokopi naskah ini dari Adriyetti Amir, saat ini sebagai di Fakultas Sastra Unand, Padang.
Naskah Pengajian Tarekat ini mengemukakan pembahasan mendalam tentang berbagai ajaran tasawuf, antara lain mengenai hakikat makhluk (baca: manusia), hubungannya dengan Sang Pencipta. Di kalangan penganut tarekat Syattariyyah sendiri, materi pengajian tarekat ini sering disebut sebagai “pengajian tubuh”.
Disebutkan bahwa tubuh manusia terdiri dari dua sisi: bagian yang kasar (lahir) dan bagian yang halus (batin). Pada hakikatnya, bagian tubuh lahir tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batinlah yang menggerakannya. Pengarang menganalogikan hubungan tubuh kasar dengan tubuh halus ini dengan hubungan antara sangkar dan burung di dalamnya, jika burung bergerak, sangkar pun bergerak, demikian halnya jika burung diam, sangkar pun diam (Deram 1992: 1-3):
Hidup tubuh nan kasar dihidup tubuh nan batin
Tahu tubuh nan kasar ditahu tubuh nan batin
Kuasa tubuh nan kasar dikuasa tubuh nan batin
Barkahandak tubuh nan kasar dibarkahandak tubuh nan batin
Mandangar tubuh nan kasar dimandangar tubuh nan batin
Malihat tubuh nan kasar dimalihat tubuh nan batin
Barkata tubuh nan kasar dibarkata tubuh nan batin
Menurut pengarang, pengetahuan atas tubuh lahir dan tubuh batin ini penting untuk sampai pada penghayatan tentang hakikat Allah, karena pada hakikatnya, tubuh batin adalah ruh Allah yang ditiupkan kepada tubuh lahir, dan Dia-lah yang memiliki ‘hidup’, ‘tahu’, ‘kuasa’, ‘kehendak’, ‘mendengar’, ‘melihat’, dan ‘berkata’ tersebut, bukan dirinya sebagai tubuh lahir.
Jika seorang salik telah mampu keluar dari sifat-sifat lahiriyahnya, ia akan mengetahui bahwa dalam dirinya hanya ada kehendak Tuhannya, ia sendiri bagaikan mayat yang tidak memiliki kehendak dan keinginan apapun. Keadaan inilah yang disebut oleh pengarang sebagai “mati hakiki”, yaitu mati fana, atau “mati sabanar mati”, sebagai kebalikan dari “mati suri”, yang berarti keadaan mati seperti umumnya. Dalam teks (h. 4-5), pengarang mengatakan:
Tidak nan hidup
Tidak nan tahu
Tidak nan kuasa
Tidak nan barkahandak
Tidak nan mandangar
Tidak nan malihat
Tidak nan barkata
Melainkan Allah
Pengarang juga menganalogikan konsep tubuh lahir dan tubuh batin ini dengan konsep a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Menurutnya, tubuh lahir adalah a’yan kharijiyyah yang merasakan berbagai gejala fisik, sedangkan tubuh batin adalah a’yan tsabitah yang wujud dengan sebenar-benar wujud:
“...a’yan kharijiyyah tubuh nan kasar samangat yang tahu di sakit, padih, haus, dan lapar; a’yan tsabitah tubuh yang halus, si ujud ‘am nan sabanar-banar diri; ujud maĂșad Tuhan yang barnama Allah... (h. 6).
Hal penting lain yang dikemukakan dalam Pengajian Tarekat adalah tentang pentingnya seorang salik mengikuti segala perilaku Nabi; apapun yang dilakukan Nabi harus diikuti, demikian halnya apapun yang tidak dilakukan Nabi, hendaknya juga dihindari (h. 11-13). Hal yang unik berkaitan dengan kepatuhan ini adalah, pengarang selalu menempatkan posisi Syaikh (mursyid) setelah Nabi, bahkan dalam hal keimanan sekalipun. Artinya, yang harus dipatuhi setelah Allah dan Nabi adalah Syaikh (h. 14):
Bahasa iman percaya akan Allah akan Nabi akan guru
Bahasa Islam manjunjung titah Allah dan titah Nabi dan titah guru
Manjauhi tagah Allah tagah Nabi tagah guru
Pada dasarnya, substansi dari apa yang disebut sebagai “pengajian tubuh” di Minangkabau ini bukanlah merupakan wacana yang baru dalam konteks tasawuf sendiri, khususnya tasawuf falsafi, karena yang ingin dikemukakan terutama adalah mengenai hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dalam hal ini manusia.
Tema seperti ini tentu saja sudah sejak awal menjadi topik pembicaraan para sufi, termasuk tokoh-tokoh sufi dalam tarekat Syattariyyah. Abdurrauf Ali al-Jawi misalnya, dalam naskah Tanbih al-Masyi dan juga Syattariyyah, sebelum menjelaskan makna sesungguhnya dari doktrin wahdat al-wujud, terlebih dahulu mengemukakan pembahasan menyangkut hubungan ontologis antara Tuhan dan alam tersebut, antara al-Haq dan al-Khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Esa dan yang banyak, antara al-wujud dan al-maujudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat.
Akan tetapi, dalam konteks ekspresi ritual keagamaan lokal di Minangkabau, pengajian tubuh ini merupakan sesuatu yang khas dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sifat tarekat Syattariyyah yang berkembang. Hal ini dapat dilihat dari, setidaknya, dua alasan di bawah:
Pertama, pengajian tubuh benar-benar menjadi materi pokok dalam keseluruhan ajaran tarekat yang disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan ini. Hal ini tampak, antara lain, dari materi yang terdapat dalam naskah Pengajian Tarekat di atas yang memang memberikan penekanan pada pemahaman tentang hakikat penciptaan dan kehendak manusia, serta hubungannya dengan hakikat Zat dan kehendak Tuhan, selain tentu saja materi tentang tatacara zikirnya.
Selain itu, pengajian tubuh juga merupakan salah satu materi pokok yang selalu diajarkan oleh guru-guru tarekat Syattariyyah di Minangkabau dalam wirid pengajian khusus mereka, selain materi tasawuf lainnya.
Bagi para penganut tarekat Syattariyyah di Minangkabau ini, pengajian tubuh diperlukan sebagai landasan dan latihan (riyadah al-nafs) sebelum sampai kepada apa yang mereka sebut sebagai “kurrah”, yakni suatu usaha yang bertujuan guna mengembalikan tubuh yang kasar (a’yan kharijiyyah) kepada tubuh yang halus (a’yan Tsabitah). Selain itu, pengajian tubuh juga diyakini dapat menjadi sarana agar seorang penganut tarekat Syattariyyah mengenal diri (tubuh)nya, sehingga ia akan mampu menangkis segala godaan syetan dan hawa nafsunya (Yafas 1990: 7).
Kedua, materi pengajian tubuh merupakan bagian terpenting dalam berbagai ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah yang bersifat lokal. Hal ini antara lain terlihat dari keseluruhan materi dalam kesenian salawat dulang yang merupakan bentuk kesenian di Minangkabau dengan nuansa sufistis yang sangat kental (tentang Salawat Dulang, lihat, antara lain Amir 1996 dan Mardius 1995).
[post_ads_2]
Khatimah
Demikianlah, di Minangkabau ini, pengajian tubuh, dan juga sejumlah living tradition lain, seperti salawat dulang, telah menjadi salah satu bentuk ekspresi para penganut tarekat Syattariyyah untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhannya.Bentuk-bentuk ekspresi ritual Islam lokal seperti itu dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perpaduan antara Islam yang memuat berbagai ajaran, dalam konteks ini tasawuf, dengan adat atau tradisi lokal di Minangkabau, apalagi dalam konteks Minangkabau, masyarakatnya meyakini sebuah adagium: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mangato Adat Mamakai, Syarak Mandaki Adat Manurun.
Dalam konteks yang lebih besar lagi, ekspresi ritual Islam lokal seperti ini dengan sendirinya juga memberikan gambaran riil akan apa yang sering disebut sebagai “Islam lokal”, yakni suatu artikulasi dari “proses penerjemahan” Islam ke dalam sistem sosial-budaya, politik dan intelektual yang berlaku di suatu masyarakat (Hooker 1983).
Islam lokal mengandung dua konsep penting. pertama, ia adalah konsep tentang sebuah keadaan yang khusus dan unik dari suatu praktek keagamaan tertentu. Keunikan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi budaya lokal, tetapi juga bisa terjadi karena proses pembumian dari ajaran-ajaran normatif Islam ke dalam realitas; kedua, Islam lokal mengandung unsur sebuah proses yang terus berlanjut dari pertemuan dan interaksi budaya dan Islam dalam proses sejarah.
Dengan penjelasan di atas, maka berbagai ekspresi ritual Islam lokal, tidak hanya yang terjadi di Minangkabau, melainkan juga di wilayah lain, dapat dianggap sebagai contoh yang baik bagi persemaian Islam lokal, yang pada gilirannya menjadi kekayaan budaya tersendiri.
Penulis: Oman Fathurahman
http://oman.uinjkt.ac.id/2007/02/pengajian-tubuh-di-minangkabau.html
EmoticonEmoticon