25 April, 2018

Naskah Kuno Dharmasraya

Tulisan ini merupakan catatan kecil dari observasi awal tim peneliti naskah kuno yang terdiri dari dua peneliti Fakultas Sastra Universitas Andalas dan enam peneliti Balai Bahasa Padang pada 19 Februari 2009 lalu. Observasi ini adalah permulaan dari rangkaian penelitian yang bertujuan untuk melakukan inventarisasi, katalogisasi, digitalisasi dan kajian teks terpilih naskah-naskah yang masih tersebar di tangan masyarakat Kabupaten Dharmasraya.

Baru sehari dilakukan penelusuran, tim peneliti sudah “dihidangkan” puluhan naskah di Nagari Koto Padang dan Pisang Rebus. Setidaknya, gambaran awal ini membuat kami merasa bahwa memilih Kabupaten Dharmasraya sebagai lokasi penelitian naskah-naskah kuno adalah keputusan yang tepat.

Tim peneliti baru mendatangi dua lokasi, yakni Jorong Koto Padang, Nagari Sialang Gaung, Kecamatan Koto Baru dan di Nagari Pisang Rebus Kecamatan Sitiung. Di Jorong Koto Padang dijumpai puluhan naskah kuno koleksi Hj. Nerseha yang kondisinya sudah sangat memperihatinkan. Di Nagari Pisang Rebus, tepatnya di Pondok Pesantren Nurul Iman juga ditemukan puluhan naskah dengan teks yang beragam. Menariknya, Syekh H. Buya Rijal Abbas selaku pemilik naskah dan pemimpin pesantren masih menyalin naskah hingga sekarang. Beliau banyak menulis syair dengan menggunakan aksara Jawi.

Wilayah Kabupaten Dharmasraya memang menarik untuk penelusuran naskah. Kabupaten – yang namanya diambil dari nama kerajaan Melayu di kawasan hulu sungai Batang Hari – ini merupakan wilayah penting dalam peta kebudayaan Minangkabau. Di wilayah ini pernah ditulis naskah Undang-undang Tanjung Tanah, sebuah naskah Melayu tertua yang diberikan kepada masyarakat Kerinci pada abad ke-14 (Kozok, 2006). Naskah ini merupakan dokumen penting dalam sejarah bahasa dan kesusastraan Melayu yang sekaligus membuktikan bahwa peradaban Melayu sudah memiliki aksara dan sistem hukum sendiri di zaman pra-Islam.

Dalam konteks pernaskahan di Sumatera Barat, Kabupaten Dharmasraya selama ini belum mendapat perhatian para filolog (peneliti naskah kuno). Di banyak wilayah di Sumatera Barat, sudah 500-an naskah kuno yang sudah dilakukan inventarisasi dan katalogisasi serta digitalisasinya. Naskah-naskah itu merupakan naskah kuno yang masih tersebar di tangan masyarakat.

Masih banyaknya naskah yang terdapat di tengah masyarakat sebagai milik pribadi atau suku menjadi masalah yang serius. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad XVII, XVIII dan XIX tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama. Sementara pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan tradisional untuk merawatnya, sehingga seringkali naskah yang dimiliknya itu saling bertumpuk dengan benda lain, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hilang pula pengetahuan yang tersimpan di dalamnya.

Kalaupun terawat, umumnya karena naskah-naskah tersebut dianggap sebagai benda keramat yang harus disimpan rapi, kendati isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak umum. Kendati telah beberapa kali dilakukan upaya inventarisasi dan pelestarian atas naskah-naskah tersebut, nyatanya hingga kini setidaknya berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dan pengalaman kunjungan ke beberapa daerah naskah-naskah yang terdapat di masyarakat tersebut masih banyak yang belum teridentifikasi, dan apalagi tersusun dalam sebuah katalogus naskah.

Kondisi di atas diperparah dengan kecenderungan ini penelitian naskah di Indonesia yang lebih mementingkan telaah teks. Persoalan yang berkaitan dengan pengoleksian dan pemeliharaan manuskrip diabaikan. Padahal, sumber manuskrip hanya dapat diacu apabila sumber itu telah dilestarikan. Dengan kata lain, penelitian terhadap manuskrip baru dapat dilakukan apabila kondisi manuskrip baik fisik maupun tulisan tidak mengalami kerusakan. Bagaimanapun juga manuskrip-manuskrip kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan.

Banyaknya naskah yang masih tersebar di tangan masyarakat sebagai milik pribadi atau suku di Kabupaten Dharmasraya merupakan potensi besar. Hal ini terkait dengan manfaat dari naskah kuno itu sendiri. Naskah merupakan khasanah budaya yang penting baik secara akademis maupun sosial budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan warisan yang berharga.

Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional (local genius). Naskah merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta masyarakat lama yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan, kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan sudut pandang yang lain. Pemerintah Kabaupaten Dharmasraya semestinya segera menggali potensi ini dengan berbagai langkah strategis.

Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pendirian museum. Di samping kekayaan khazanah budaya berupa naskah, Kabupaten Dharmasraya juga punya khasanah peninggalan budaya yang penting. Kerajaan Padang Lawas, Siguntur, Koto Besar dan Pulau Punjung merupakan artefak budaya yang penting. Selain itu, adanya praktik jual beli naskah kuno dan benda-benda cagar (BCG) budaya lainnya menyebabkan banyak naskah dan BCG yang ke luar dari “kampungnya”. Dengan adanya museum, pemda setempat dapat melakukan pengumpulan benda-benda peninggalan budaya yang masih tersebar itu.

Selain bermanfaat untuk sektor pariwisata, dengan adanya museum juga sangat bermanfaat untuk dunia pendidikan. Langkah strategis itu sekaligus mengabarkan kepada semua peneliti bahwa Dharmasraya juga merupakan ‘pintu gerbang’ untuk melihat sejarah kebudayaan Minangkabau.
*) Penulis: Pramono,S.S, M.Si, Dosen Fakultas Sastra Unand dan Anggota Tim Peneliti Naskah Kuno di Kabupaten Dharmasraya Kerjasama Fakultas Sastra Unand dengan Balai Bahasa Padang.
Dicopy dari Blog beliau http://skripton.blogspot.co.id


EmoticonEmoticon