16 Juli, 2012

Menilik Sejarah Lunang di Masa Lalu

Rumah gadang Mande rubiah

Lunang adalah sebuah nagari yang terisolasi. Letaknya jauh di Selatan Minangkabau (Sumatera Barat). 40 km lagi arah ke Selatannya sudah merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Sumatera Barat dan Bengkulu. Lunang adalah sebuah nagari yang terletak di Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan. Keterisolasiannya pupus seiring dengan dibukanya jalan raya semasa pemerintahan Gubernur Harun Zein. Lunang kemudian menjadi nagari yang mulai terbuka, adalah dengan ditempatkannya transmigran pada lokasi Lunang yaitu Lunang I, Lunang II dan Lunang III. Ketiga Lunang itu tidak kurang dihuni oleh 1.000 Kepala Keluarga (KK) berdasarkan catatan tahun 1987.

Masyarakat Lunang mempercayai setidak-tidaknya berdasarkan kisah yang dituturkan secara langsung oleh Maridun (Almarhum) bekas anggota Buterpa dan mantan Walinagari Lunang selama 15 tahun, dan menurut cerita dari H. Sutan Maruhun yang bergelar Bujang Sabalaeh, 84 (jari tangan beliau sebelas buah), yang tinggal di Pasar Sebelah di Inderapura, secara tegas mengatakan bahwa Lunang adalah kelanjutan dari "sejarah" Cindua Mato.

Dituturkan juga oleh Zainal Abidin, Dt. Sinar Matohari, menjabat Penghulu dari Suku Melayu sebelum tahun 1970-an dan pernah menjadi Walinagari Lunang selama 7 tahun pada tahun 1965. Bahwa Lunang dahulu terdiri dari satu kampung saja, 2 tahun kemudian di mekarkan menjadi 6 kampung yaitu Kampung Dalam, Kampung Rantau Ketaka, kampung Kumbung I, II, Kampung Empang Tanah dan Kampung Sindang, hingga tahun 1972.

Terkuaknya tabir sejarah Rumah Gadang Mandeh Rubiah adalah ketika peneliti sejarah dari Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Pesisir Selatan datang ke Lunang serta mengundang tokoh Lunang seperti Penghulu dan ulama di rumah gadang. Maridun sebagai mewakili keluarga Mandeh Rubiah dengan seizin penghulu dan tokoh masyarakat Lunang lainnya mengeluarkan benda-benda sejarah yang disimpan rapi dalam rumah gadang untuk membuktikan Lunang merupakan penerus dari sejarah Bundo Kandung di Paruyung.

Rumah Gadang Mandeh Rubiah di tahun 1980 sebelum di renovasi oleh Pemerintah. Pada tanggal 8 Maret 1980 rumah gadang ini di resmikan menjadi museum lokal di Sumatera Barat yaitu Museum Mande Rubiah.

Terpendamnya sejarah Lunang khususnya keberadaan rumah gadang dan makam tua yang terletak di Kompleks Rumah Gadang Mandeh Rubiah adalah perlindungan bagi masyarakat Lunang terhadap rumah gadang dan makam tersebut takut dipindahkan ke daerah Darek (wilayah Pagaruyung sekarang). Sejarah inipun menjadi rahasia bagi masyarakat Lunang dan wilayah sekitar seperti Inderapura sampai Mukomuko Bengkulu.

Barulah setelah masayarakat Lunang mengetahui adanya Undang-Undang tentang perlindungan tempat bersejarah mereka berani membuka tabir sejarah yang telah lama dirahasiakan.

Makam Bundo Kanduang pada tahun 1980, disebelahnya terdapat Makam Puti Bungsu dan disebelahnya lagi Makam Dang Tuangku. Di kompleks makam ini juga terdapat makam Syekh Malak Ibrahim penyiar syariah Tarekat Syattariah pertama di Lunang.

Dari hasil pendataan ataupun penelitian oleh pihak Suaka PS & P Sumbar Riau, maupun pihak lain, diperkirakan peninggalan Sejarah Rumah Gadang Mandeh Rubiah beserta Makam dan benda-benda lainnya sudah berumur lebih kurang lima Abad, yang diduga dai abad ke XV atau awal Abad ke XVI.

Benda pusaka yang dipamerkan di Ruang utama Rumah Gadang Mandeh Rubiah. Menjadi bukti masa lalu Lunang yang melegenda dan tidak lagi terselimuti mitos.

Dari berbagai informasi dan referensi yang ada, Raja Minangkabau (Bundo Kanduang) yang bernama Ptri Selasih Pinang Masak, anak Sulung dari Adityawarman dengan Putri Jamilan yang disaat itu (akhir abad ke XV) telah memerintah sebagai Raja di Pagaruyung, yang naik tahta menggantikan ayahnya (Adityawarman), menghadapi kemelut dengan Tiang Bungkuk penguasa negeri Sungai Ngiyang. Putri dari Rajo Mudo (Adik Bundo Kanduang) bernama Puti Bungsu yang telah menjadi tunangan Dang Tungku (Putra Bundo Kandung) sejak jasad masih di dalam rahim akan dinikahkan dengan putra Tiang Bungkuk bernama Rangkayo Imbang Jayo. Keputusan yang sepihak itu tidak diterima oleh Dang Tunagku sendiri.

Rencana pernikahan Puti Bungsu dengan Rangkayo Imbang Jayo disetujui oleh ayah Puti Bungsu yang ketika itu menjadi perwakilan kerajaan Pagaruyung di Ranah Sikalawi atau berdekatan dengan negeri Sungai Ngiyang adalah karena terbetik berita yang ngada-ngada oleh juru penguasa negeri Sungai Ngiyang Tiang Bungkuk, bahwa Dang Tuangku sebagai Putra Mahkota Kerajaan Pagaruyung telah menginjak dewasa dan mendapat musibah yang luar biasa yaitu tubuhnya di dipenuhi penyakit yang menular (sejenis kudis ganas), dan Dang Tuangku di asingkan jauh dari lingkungan masyarakat yaitu di asingkan ke hutan belantara.

Mendengar berita itu, Rajo Mudo menyetujui Putrinya untuk di nikah kan dengan Rangkayo Imbang Jayo. Namun rencana itu sirna ketika Cindua Mato Putra Kambang Bandohari (Juru Kunci Istana Pagaruyung dan juga adik bungsu Bundo Kanduang) diperintahkan oleh Dang Tuangku untuk menjemput Puti Bungsu di Ranah Sikalawi.

Untuk menuju Ranah Sikalawi, Cindua Mato menunggangi kabau Sibenuang. Dalam perjalanan yang penuh rintangan itu terutama di bukit Tambun Tulang, Cindua Mato juga dibantu oleh kabau Sibenuang dengan menggelengkan kepalanya agar Lebah penyengat yang bersarang di telinganya dapat melumpuhkan musuh-musuh yang menyerang Cindua Mato.

Di malam rencana pernikahan Puti Bungsu dengan Rangkayo Imabang Jayo, Cindu Mato telah samapi di Ranah Sikalawi. Dengan akal bulihnya Puti Bungsu berhasil dibawa ke Pagaruyung. Tiba di pagaruyung Puti Bungsu di bawa ke rumah Datuak Bandaro kemudian dengan keputusan Basa Ampek Balai dan di setujui oleh Bundo Kanduang Puti bungsu akhirnya di nikahkan dengan Dang Tuangku.

Sementara itu di negeri Sungai Ngiyang, suasana memanas tidak terima perlakuan dari utusan Pagaruyung itu. Malu bercampur marah itu harus dibalas, dengan lantang dan percaya penuh Rangkayo Imbang Jayo membawa Pasukannya menuju Pagaruyung untuk membalas itu. "Cindua Mato Harus di bunuh dan Puti Bungsu harus dibawa ke negeri Sungai Ngiyang", itulah ucapan Rangkayo Imbang Jayo.

Di Istana Pagaruyung diadakan Musyawarah besar, hadir Rajo Duo Selo, Basa Ampek Balai, masayakat Pagaruyung dan perangkat Istana seperti Bundo Kanduang sendiri. Dalam musyawarah ini, memerinthkan Cindua mato untuk mengasingkan diri ke negeri Pagar Dewa negeri yang keramat yang dikuasai oleh waris Rajo Indo Jati merupakan tali persaudaraan Ibu dari Bundo Kandung sendiri yaitu Putri Jamilan. Negeri itu adalah Nunang (tanah menang) atau Lunang negeri yang dianggap memiliki penjaga dari orang Bunyian (orang halus).

Setelah kepergian Cindua Mato untuk pengasinganya ke negeri Pagar Dewa (Lunang-Indopuro), pasukan Rangkayo Imbnag Jayo datang ke Pagaruyung untuk menyerang. Namun serangan itu di hadapi oleh masyarakat Pagaruyung yang praktis menjadi pasukan Istana dan dipimpin oleh Basa Ampek Balai (berjumlah empat orang) dan Rajo Duo Selo (dua orang rajo adat dan Ibadat). Dalam pertempuran ini, Rangkayo Imbang Jayo mati terbunuh oleh Rajo Duo Selo, begitupun pasukannya banyak mati terbunuh.

Sisa pasukan Rangkayo Imbang Jayo yang masih hidup pulang ke negeri Sungai Ngiyang. Mendapat berita atas kematian anaknya, Tiang Bungkuk marah besar dan bejanji akan membalas perlakuan Istana Pagaruyung. Dengan geram Tiang Bungkuk menyatakan Pagaruyung harus di bumi hanguskan dan negeri Pagaruyung bakal banjir darah manusia.

Di Istana Pagaruyung kembali diaadakan musyawarah besar, sebelumnya Cindua Mato yang berada di pengasingan dipanggil ke Pagaruyung. Dalam musyawarah ini Bundo Kandung mengambil kebijaksanaan yang arif yaitu untuk mengirap (mengasingkan diri). Alasannya adalah agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi di Pagaruyung karena yang akan berperang nantinya pastilah masyarakat Pagaruyung sendiri untuk membela Istana dan Rajanya. Apabila Tiang Bungkuk datang menyerang pastilah Istana dan Bundo Kandung beserta perangkat Istana yang akan menjadi sasaran serangan. Untuk itu lebih baik Bundo Kanduang dan perangkat Istana meninggal Pagaruyung yang di cintainya kecuali Cindua Mato yang telah mendapat mandat yang besar dari Bundo Kandaung. Selain itu Bundo Kandung juga berpesan kepada Masyarakt Pagaruyung, Rajo Duo Selo dan Basa Ampek Balai bahwa kepergian Bundo Kanduang untuk mengasingkan diri adalah mengirap ke Langit, ini di buat agar Tiang Bungkuk atau pengikutnya nanti tidak mencari lagi keberadaan Bundo Kanduang beserta anak cucunya nanti.

Bundo Kanduang meninggalkan Paguruyung menuju negeri Pagar Dewa negeri yang pernah dikuasai oleh Moyangnya Indo Jati, pada waktu telah berdiri Kerajaan Indopuro di Inderapura sekarang (kerajaan ini eksis hingga tahun 1911 yaitu Raja yang terakhir Sultan Firmansyah yang diasingkan oleh Belanda ke Batavia sampai diakhir hidupnya). Kerajaan Indopuro berdiri sebagai kelanjutan dari kekuasaan Indo Jati di hulu Batang Lunang (Lunang sekarang). Raja pertama kerajaan Indopuro ini adalah Sultan Iskandar Bagagar Alamsyah merupakan pewaris kekusaan Indo Jati di Lunang dan mendirikan kerajan di tepi pantai yaitu Inderapura sekarang dengan alasan mendirikan kerajaan adalah oleh faktor primus interpares dan faktor Inderapura yang terletak di Muara Batang Lunang bisa dijadikan kota/bandar dagang Nusantara dengan pedagang-pedagang luar seperti dari Jawa, Aceh, Melayu (Malaysia), Cina, India dan Arab lainnya.

Setelah keberangkatan Bundo Kanduang beserta perangkatnya dari Pagaruyung, Tiang Bungkuk beserta pasukannya datang ke Pagaruyung untuk mencari Bundo Kanduang beserta anak dan menantunya. Tapi setibanya Tiang Bungkuk di Pagaruyung, mereka hanya dapat menemui Cindu Mato yang berpelakuan seperti orang bodoh. Karena Ting Bungkuk juga mendengar Bundo Kanduang beserta pengikutnya telah terbang ke langit, niatnya urung untuk mengincar Bundo Kanduang lagi. Sekarang tersisa Cindu Mato di Istana, ia di bawa ke negeri Sungai Ngiyang untuk dijadikan budak oleh Tiang Bungkuk.

Di negeri Sungai Ngiyang, Cindua Mato bekerja sebagaimana halnya seorang budak. Mengankat barang keperluan rumah tangga hingga menjadi tukang pijit Tiang Bungkuk sebelum ia tidur. Suatu hari, Cindu Mato memijit Tiang Bungkuk hingga ia terlelap, dalam kelelapan (tidur ayam) itu, mulailah Cindua Mato melaksanakan rencananya dengan menanyai Tiang Bungkuk tentang rahasia yang bisa membunuh dirinya. Karena Tiang Bungkuk adalah orang yang kebal dan tidak bisa di lumpuhkan. Nasib ketika itu beruntung bagi Cindua Mato, Tiang Bungkuk membuka rahasia yang bisa membunuhnya yaitu sebilah keris yang terletak di "Tiang Bungkuk" (tiang berbentuk bongkok/berbelok) yang terletak di rumahnya. Keris tersebut di tusukkan ke hulu hati dan hulu hati tersebut terlebih dahulu di letekan tiga helai daun sirih. Cara ini adalh satu-satunya yang bisa membunuh Tiang bungkuk.
Rumah gadang mande rubiah lunang
Niat inipun terlaksana, tiang bungkuk mati di tangan Cindua Mato. Untuk menebus kesalahannya, Cindua Mato menikahi putri Tiang Bungkuk bernama Puti Ranik Jitan meskipun Cindua Mato akan dikawinkan dengan putri Datuak Bandaro bernama Puti Lenggo Geni. Kemudian Cindua Mato meninggalkan negeri Sungai Ngiyang menuju Pagaruyung. Puti Ranik Jitan di tinggalan di negeri Sungai Ngiyang dan telah dikarunia seorang putra bernama Sutan Ali Dunia.

Setibanya Cindua Mato di Pagaruyung dan membawa kabar gembira karena telah bisa menaklukan pengasa negeri Sungai Ngiyang, rencana pernikahannya dengan Puti Lenggo Geni pun di langsungkan. Kemudian mandatnya sebagai peganti Dang Tuangku sebagai Raja Alam Minangkabau di Istana Pagaruyung ia pegang selama beberapa tahun.

Akan tetapi, Cindua Mato kemudian berniat untuk ikut dengan Bundo Kanduang beserta Ibunya Kambang Bandohari ke negeri Pagar Dewa Lunang. Di usia yang telah bisa disebut tua, Cindua Mato tiba di Lunang beserta keluarga yang di cintainya sampai akhir hidupnya dan di makamkan di Lunang.

Makam Cindua Mato di Lunang, makam ini terpisah dari Kompleks Makam Bundo Kanduang karena waktu kedatangannya ke Lunang adalah di kemudian hari setelah datanya Bundo Kanduang beserta pengikutnya tiba di Lunang dan alasan lain Cindua Mato merupakan Pandeka Istana dan ahli dalam pertempuran. Makam ini terletak 100 m di sebelah barat Rumah Gadang Mandeh Rubiah

Ketika Bundo Kanduang beserta pengikutnya tiba di Lunang, mereka tidak mendirikan kerajaan kembali seperti sediakala sebelumnya di Pagaruyung. Mendirikan Istana berbentuk Panggung dengan gaya rumah tradisionla atau lebih mengarah seperti rumah adat Melayu, bahkan nama Bundo kanduang di Ganti dengan Mandeh Rubiah. Ini adalah agar berita keberadaan Bundo Kanduang tidak diketahui oleh pengikut-pengikut Tiang Bungkuk yang telah terlanjur dendam terhadap isi Istana Pagaruyung.

Rumah Gadang Mandeh Rubiah pusat yang sakral bagi Masyarakat Lunang dan wilayah sekitarnya seperti Indopuro hingga perbatasan kabupaten Mukomuko dengan kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu. Berbagai kegiatan adat dan keagamaan dilaksanakan di rumah gadang ini, bahkan kebutuhan alternatif ekonomi seperti ritual Tolak Bala di pusatakan di rumah gadang ini.

Keberadan Bundo Kanduang dan Istananya di Lunang masih terasa oleh masyarakatnya hingga zaman sekarang. Dulu masyarakat merasa kharismatik Bundo Kanduang, untuk memberi penghormatan kepadanya maka masyarakatnya melangsungkan tradisi adat dan kegamaan di pusatkan di rumah gadang Istana Mandeh Rubiah dan bentuk lain mereka sering berkaul ke rumah gadang seperti membayar nazar, meminta obat, meminta doa dan bahkan meminta restu oleh mempelai sebelum malangsungkan akad nikah dan telah menjadi bentuk tradisi adat di Nagari Lunang.

Berbagai upacara adat dan keagamaan masih terpegang erat oleh masyarakat Lunang untuk mempertahankan tradisi lama. Rumah gadang sebagai simbol pemersatu dan sebagi pusat budaya yang ada di Lunang. Upacara adat dan keagamaan dapat kita temui di Rumah Gadang Mandeh Rubiah ini. Ritual-ritual inipun telah menjadi dukungan bagi ulama-ulama di Lunang, bahkan kelangsungan upacara ini tidak terlepas dari keterlibatan ulama selain para Penghulu Suku yang ada di Lunang sendiri. Untuk secara garis besar upacara itu dapat dipaparkan antara lain :

Maulid Nabi di Rumah Gadang Mandeh Rubiah

Maulid Nabi di Rumah Gadang Mandeh Rubiah di laksanakan setelah upacara maulid nabi di masjid nagari yang terletak di sebelah barat rumah gadang. Pelaksanaanya pun sedikit berbeda dengan pelaksanaan di Mesjid. Di Mesjid masyarakat membaca pujian kepada Rasul yang di kenal masyarakat Lunang bajikia (berzikir) begitupun di rumah gadang, jaudah/makanan di mesjid di antarkan oleh masyarakat ke mesjid setelah di masak sebelumnya di rumah masing-masing. Jaudah di masukan ke dalam rumah jamba sebagai tempatnya untuk di bawa ke mesjid dan nasi gulai di masukan ke dalam rantang dan talam.

Di Rumah Gadang Mandeh Rubiah masyarakat hanya membawa perlengkapan yang belum dimasak seperti buluh lemang, daun pisang, kayu bakar dan lainya untuk perlengkapan membuat lemang. Dan yang lain seperti beras, ayam, serta kebutuhan memasak lainya. Perlengkapan ini di masak oleh masyarakat di Rumah Gadang Mande Rubiah..

Perbedaan lain terlihat adanya tradisi masyarakat Lunang dalam pelaksanaan upacara maulid nabi dibarengi dengan ritual lama yang dikenal dengan Pghah Mato, yaitu setiap anak-anak yang berumur balita wajib menjalani pengobatan untuk mengobati mata sejak dini, setiap ibu balita membawa perkakas yang telah ditentukan antara lain induk ayam putih, beras pulut, pisau, tali benang 3 warna, lapik pandan, buluh cina satu batang, bangkul dan kendi (botol) tempat air.

 Tarawih 4 Malam di Rumah Gadang Mandeh Rubiah

Pada malam ke-23 sampai malam ke-26 tarawih di bulan Ramadhan, masyarakat Lunang dan masyarakat sekitarnya seperti dari Indrerapura, Silaut dan Lubuk Pinang Mukomuko Bengkulu melaksanakan tarawih di rumah gadang selama empat malam berturut–turut. Tarawih ini tidak berbeda dengan tarawih yang dilaksanakan di Mesjid-mesjid sebelum dilaksanakan sholat tarawih para jamaah terlebih dahulu membaca ayat Al qur' an sehingga 3 malam pembacaan al qur’an diselesaikan mengajinya sampai tamat secara bersama-sama

Takbir di Rumah Gadang Mandeh Rubiah

Setelah secara bersama-sama masyarakat melihat anak bulan, dan telah tiba penentuan hari raya Idul Fitri, maka malamnya dilangsungkan takbir di rumah gadang sebelum dilaksanakannya takbiran di Masjid. Kumandang takbir ini bergema dalam rumah gadang. Sementara itu di masjid juga dilangsungkan takbiran sambil menunggu para jamaah yang melangsungkan takbir di rumah gadang. Setelah terasa selesai takbir dirumah gadang, kemudian para jamaah melanjutkan takbir ke Masjid.

Shalat Idul Fitri di Rumah Gadang

Pada hari raya Idul Fitri sebelum masyarakat secara keseluruhan melaksanakan salat Idul Fitri di Mesjid, sebagian ulama dan jamaah lain melaksanakan salat Idul Fitri ini di Rumah Gadang Mandeh Rubiah, salat ini kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kotbah berbahasa arab. Pegawai yang menjadi khatib kotbah dan imam memakai pakaian jubah dan sorban. Setelah selesai seluruh rukun salat Id di rumah gadang, maka para jamaah yang salat di rumah gadang seluruhnya menuju masjid yang terletak disamping Rumah Gadang Mande Rubiah.

Manjalang Rumah Gadang Mandeh Rubiah

Manjalang (menjelang) adalah prosesi adat bercampur agama yang telah metradisi di Nagari Lunang, disebutkan demikian adalah karena prosesi adat tersebut sekaligus menyambut hari raya Idul Fitri yang dilangsungkan di Rumah Gadang Mandeh Rubiah. Manjalang diartikan dengan mengunjungi Rumah Gadang Mandeh Rubiah dalam rangka silaturahmi (halal bihalal/bermaaf-maafan) anatar seluruh unsur masyarakat, mulai dari unsur adat, alim ulama dan masyarakat dengan Mandeh Rubiah.


Sebagai ungkapan rasa hormat masyarakat Lunang kepada pewaris rumah gadang yang telah mentradisi dari dahulu hingga sekarang maka dilangsungkan setiap tahunnya upacara Manjalang atau mengunjungi rumah gadang.

 Naiak Kadudukan di Rumah Gadang Mandeh Rubiah dalam Upacara Perkawinan di Lunang

Naiak kadudukan adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat Lunang untuk memohon doa restu dari Mandeh Rubiah di Rumah Gadang karena sebagai Mandeh Rubiah ia dianggap orang keramat. Menurut kepercayaan masyarakat setempat bila calon mempelai tidak meminta restu dari mandeh Rubiah sebelum pernikahan maka ketika menikah nanti mereka dapat mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti demam pusing dan sebagainya sehingga bias menggagalkan proses pernikahannya yang akan berlangsung. Jadi jika tidak melakukan hal ini bagi masyarakat Lunang merasa ada yang kurang dalam pelaksanaan pernikahan anak kemenakan mereka. Sehingga dalam upacara adapt perkawinan naiak kadudukan merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sumber ; https://sites.google.com


EmoticonEmoticon