Nama aslinya Kamaluddin — dia bertubuh pendek dan gempal, orang Minang menyebut ukuran badan seperti itu dengan istilah “Sabuku” — ini bukan bahasa Jepang ,, :p Kulitnya agak hitam dan larinya kencang bagaikan kilat, sehingga dia dijuluki “Tambiluak” atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan nan bisa terbang kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren.
Sebelum menjadi serdadu di Bagian Perlengkapan & Pengangkutan (P&P), Batalyon Singa Harau, pimpinan Mayor Makinuddin H.S., Tambiluak bekerja sebagai tukang cukur di pangkas rambut nan terletak di Jalan Gajah Mada, Payokumbuah.
Betulkah dia seorang pengkianat — sebagaimana cerita nan beredar dari mulut ke mulut, atau hanya sekedar korban hukum revolusi ??
[post_ads]
Dua pertanyaan tersebut memang seperti mata uang berlainan, selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah menyebutkan bajwa Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa —
bahkan sebelum insiden berdarah itu terjadi, pada tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar nan menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Tambiluak.
Dalam pertemuan tersebut, Tambiluak mengajak Syamsul Bahar agar datang pada rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa mengikuti Kongres BKPRI di Yogyakarta, Syamsul Bahar pun ikut berangkat ke Situjuah dan sampai pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.
Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin H.S. Rupanya dalam surau tersebut sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar kemudian pindah ke sebuah bangunan di sebelah surau tersebut. Dia bermaksud istirahat sejenak menjelang ikut rapat.
Di halaman surau nan gelap, kemudian, Syamsul Bahar melihat Tambiluak bermenung diri. Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa nan membuat Tambiluak bermenung diri. Tambiluak hanya menjawab dingin: “Indak ado apo-apo doh ,,”.
Perubahan sikap Tambiluak ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar pada saat itu saja. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga prilaku aneh dan ganjil. Ketika para pejuang mulai beristirahat selesai Sholat Shubuh, Tambiluak sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan kekalahan Indonesia.
Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika dia mencari-mencari Mayor A. Thalib nan terluka parah di bagian paha karena ditembak oleh Belanda — lebih lengkap tentang ini dapat Anda baca dalam buku berjudul “Tambiluak – Secuil Tentang Peristiwa Situjuah“.
Dalam pertemuan tersebut, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang Peristiwa Situjuah. Dari semua laporan yang ada didapat suatu benang merah bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat, karena itu dia harus diadili !!
Ketika rapat tersebut sedang dilangsungkan, Tambiluak sedang berada di Gaduik, Bukittinggi. Karena itu untuk mengorek keterangan lebih lanjut dari Tambiluak, peserta rapat sepakat untuk menjemputnya. Sebagai dalih, tentu saja dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, Kabupaten 50 Kota — dan Tambiluak diminta kehadirannya.
Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh sekitar pukul 18.30 malam.
Akhirnya sesampai di Padang Mangateh, sebagian rombongan nan pura-pura datang untuk rapat langsung masuk ke dalam sebuah rumah, sedangkan nan lain berjaga-jaga di luar rumah. Di dalam rumah tersebut Tambiluak mulai diinterogasi, ditanya ini dan itu, namun dia menjawab dengan bertele-tele.
Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu, seorang nan bernama Tobing tak bisa mehanan emosinya. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya ke arah kepala Tambiluak hingga terdapat sisa rambut Tambiluak di golok.
Serangan itu tidak tepat sasaran, mungkin karena rambut Tambiluak nan terlalu tebal atau mungkin juga karena dia pakai topi warna hitam. Beberapa pelor nan ditembakkan meleset, sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam. Dia melompati tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di Padang Mangateh berupaya untuk mengejar, namun sia-sia.
Tambiluak menghilang tanpa jejak. Mereka nan mencari kembali dengan tangan kosong. Kemudian, beredar informasi bahwa Tambiluak akhirnya tewas dibunuh Pasukan Panah Beracun — nan merupakan bekas anak buahnya sendiri di kawasan Padang Tarok.
Sebab menurut beliau, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949 tersebut, pesawat capung alias helikopter milik Belanda telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan nan dilakukan pemuda dan pejuang di sana.
Selain itu, Haji Khairuddin menganalisis bahwa bisa jadi Tambiluak dicap pengkhianat karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan. Sebab sebelum Agresi Belanda II, Tambiluak nan pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat Sungai Siak. Namun getah dan candu tersebut tidak jadi bertukar dengan senjata, karena Tambiluak lebih dulu dicegat oleh kapal patroli Belanda nan ada di Sungai Siak. Bisa jadi candu dan getah nan dibawa Tambiluak tersebut tidak dia bawa seluruhnya, sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu untuk kemudian dijual sendiri.
Sementara, sejarahwan Universitas Negeri Padang — Mestika Zed, juga pernah menyatakan bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Dia berargumen bahwa pada pagi hari setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek — pimpinan militer Sumatera Barat nan paling disegani pada saat itu.
Sumber : http://urangminang.com/
Sebelum menjadi serdadu di Bagian Perlengkapan & Pengangkutan (P&P), Batalyon Singa Harau, pimpinan Mayor Makinuddin H.S., Tambiluak bekerja sebagai tukang cukur di pangkas rambut nan terletak di Jalan Gajah Mada, Payokumbuah.
Betulkah dia seorang pengkianat — sebagaimana cerita nan beredar dari mulut ke mulut, atau hanya sekedar korban hukum revolusi ??
[post_ads]
Dua pertanyaan tersebut memang seperti mata uang berlainan, selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi sejarah dalam Peristiwa Situjuah menyebutkan bajwa Tambiluak benarlah seorang pengkhianat bangsa —
bahkan sebelum insiden berdarah itu terjadi, pada tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan Penerangan bernama Syamsul Bahar nan menerima tugas darurat dari komandannya, dilaporkan bertemu dengan Tambiluak.
Dalam pertemuan tersebut, Tambiluak mengajak Syamsul Bahar agar datang pada rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena sudah pernah mengenal Tambiluak semasa mengikuti Kongres BKPRI di Yogyakarta, Syamsul Bahar pun ikut berangkat ke Situjuah dan sampai pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.
Bersama rombongan, dia langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin H.S. Rupanya dalam surau tersebut sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi tersebut, Syamsul Bahar kemudian pindah ke sebuah bangunan di sebelah surau tersebut. Dia bermaksud istirahat sejenak menjelang ikut rapat.
Di halaman surau nan gelap, kemudian, Syamsul Bahar melihat Tambiluak bermenung diri. Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan apa nan membuat Tambiluak bermenung diri. Tambiluak hanya menjawab dingin: “Indak ado apo-apo doh ,,”.
Perubahan sikap Tambiluak ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar pada saat itu saja. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga prilaku aneh dan ganjil. Ketika para pejuang mulai beristirahat selesai Sholat Shubuh, Tambiluak sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan kekalahan Indonesia.
Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika dia mencari-mencari Mayor A. Thalib nan terluka parah di bagian paha karena ditembak oleh Belanda — lebih lengkap tentang ini dapat Anda baca dalam buku berjudul “Tambiluak – Secuil Tentang Peristiwa Situjuah“.
Hilang Tanpa Jejak
Pada 23 Januari 1949 — 8 hari pasca Peristiwa Situjuah, terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah — antara Dahlan Ibrahim dengan sejumlah pemuda dan pejuang Minangkabau.Dalam pertemuan tersebut, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan tentang Peristiwa Situjuah. Dari semua laporan yang ada didapat suatu benang merah bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat, karena itu dia harus diadili !!
Ketika rapat tersebut sedang dilangsungkan, Tambiluak sedang berada di Gaduik, Bukittinggi. Karena itu untuk mengorek keterangan lebih lanjut dari Tambiluak, peserta rapat sepakat untuk menjemputnya. Sebagai dalih, tentu saja dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh, Kabupaten 50 Kota — dan Tambiluak diminta kehadirannya.
Rupanya, ide peserta rapat ini termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh sekitar pukul 18.30 malam.
Akhirnya sesampai di Padang Mangateh, sebagian rombongan nan pura-pura datang untuk rapat langsung masuk ke dalam sebuah rumah, sedangkan nan lain berjaga-jaga di luar rumah. Di dalam rumah tersebut Tambiluak mulai diinterogasi, ditanya ini dan itu, namun dia menjawab dengan bertele-tele.
Tak lama kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu, seorang nan bernama Tobing tak bisa mehanan emosinya. Diserangnya Tambiluak dengan golok. Ditebasnya ke arah kepala Tambiluak hingga terdapat sisa rambut Tambiluak di golok.
Serangan itu tidak tepat sasaran, mungkin karena rambut Tambiluak nan terlalu tebal atau mungkin juga karena dia pakai topi warna hitam. Beberapa pelor nan ditembakkan meleset, sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam. Dia melompati tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di Padang Mangateh berupaya untuk mengejar, namun sia-sia.
Tambiluak menghilang tanpa jejak. Mereka nan mencari kembali dengan tangan kosong. Kemudian, beredar informasi bahwa Tambiluak akhirnya tewas dibunuh Pasukan Panah Beracun — nan merupakan bekas anak buahnya sendiri di kawasan Padang Tarok.
Pembelaan Tambiluak
Haji Khairuddin Makinuddin, putra mantan Wedana Militer Payokumbuah Selatan, menilai bahwa Tambiluak bukan pengkhianat di balik Peristiwa Situjuah.Sebab menurut beliau, beberapa hari menjelang tanggal 15 Januari 1949 tersebut, pesawat capung alias helikopter milik Belanda telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan nan dilakukan pemuda dan pejuang di sana.
Selain itu, Haji Khairuddin menganalisis bahwa bisa jadi Tambiluak dicap pengkhianat karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan. Sebab sebelum Agresi Belanda II, Tambiluak nan pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat Sungai Siak. Namun getah dan candu tersebut tidak jadi bertukar dengan senjata, karena Tambiluak lebih dulu dicegat oleh kapal patroli Belanda nan ada di Sungai Siak. Bisa jadi candu dan getah nan dibawa Tambiluak tersebut tidak dia bawa seluruhnya, sehingga dia memiliki sisa barang berharga itu untuk kemudian dijual sendiri.
Sementara, sejarahwan Universitas Negeri Padang — Mestika Zed, juga pernah menyatakan bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Dia berargumen bahwa pada pagi hari setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek — pimpinan militer Sumatera Barat nan paling disegani pada saat itu.
Sumber : http://urangminang.com/
EmoticonEmoticon