Pada bulan Agustus 1924 terbentuk sebuah perkumpulan para dermawan yang bernama Vereeniging tot bestrijding vaan oogziekten ter Sumatra’s Westkust’ (Perhimpunan pencegah penyakit mata di Sumatra Barat). Dipimpin oleh Gubernur Sumatra Barat W.A.C. Whitlau, perkumpulan itu bertujuan meringankan penderitaan masyarakat umum yang sering terkena penyakit mata, khususnya penyakit mata bileh.
Pada 27 Oktober 1924 Gubernur Whitlau melakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit tersebut. Setahun kemudian, pada 1 Mei 1925, sebuah rumah sakit mata pertama di Padang (Sumatra Barat) resmi berdiri. Susunan pengurus (bestuur) rumah sakit itu adalah: Pelindung (beschermheer): Gubernur W.A.C. Whitlau; Ketua (Voorzitter): Ch. Chr. Ouwerling; Bendahara (Secr. Penningmeester): H.J.D. Veen; Komisaris terdiri dari Sutan Radjat gelar Sutan Masa Bumi, Sim Hong Lie, D. A. Hakim, Abdul Gafar gelar Raja Endah Alam, dan Daud gelar Kari Sutan. Sedangkan jabatan Direktur Dokternya (Geneesheer-Directeur) dipegang oleh ahli penyakit mata Dr. Mohamad Sjaaf, putra Koto Gadang. Seperti sudah diceritakan dalam rubrik Minang saisuak edisi Minggu, 9 Maret 2014, Dr. Mohamad Sjaaf adalah orang Minangkabau pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Dr) di bidang medis di Universiteit van Amsterdam pada tahun 1923.
[post_ads]
Dalam foto ini kelihatan suasana meriah saat peresmian rumah sakit itu yang diramaikan pula dengan iringan musik. Masih terlihat pita putih yang terentang sebelum digunting oleh Gubernur Whitlau sebagai tanda diresmikannya pengoperasian rumah sakit itu. Rumah sakit mata tersebut kemudian diberi nama Whitlaustichting, sebagai persembahan bagi Gubernur Whitlau yang dianggap telah berjasa mendorong pembangunan rumah sakit itu.
Adapun fasilitas rumah sakit itu disebutkan sebagai berikut: terdapat kantor ‘Geneesheer-Directeur’ yang ‘bedekatan dengan onderzoekkamer (bilik tempat memeriksa orang sakit). Selandjoetnja [...] ada: polykliniek, apotheek, kamar gelap, tempat orang sakit bagi 10 orang perempoean (dioedjoeng barat), kamar verpleegster, kamar operatie, tempat bagi 10 orang perempoean (dioedjoeng timoer) dan beberapa kamar jang lain-lain poela’. Tampaknya prioritas di rumah sakit itu diberikan kepada penderita sakit mata dari kalangan kaum perempuan.
[post_ads_2]
Disebutkan pula peraturan bagi pasien: ‘1. orang jang miskin tidak [perlu] membajar apa-apa; 2. Orang jang sederhana kemampoeannja tidak membajar, tetapi makanannja haroes ditanggoeng sendiri; 3. Orang jang mampoe diwadjibkan membajar menoeroet tarief (peratoeran harga) jang telah ditetapkan’. Kini, di zaman kemerdekaan, jang tidak mampu membayar rumah sakit ditelantarkan, malah sering ditolak. Mereka yang berduit pergi berobat ke luar negeri naik kapal terbang. Pening awak maagak-agak-i: negara ini majukah atau mundur?
sumber:
Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto dan teks: Pandji Poestaka, No. 46, Tahoen III, 19 Juni 1925, hlm. 758-61)
Pada 27 Oktober 1924 Gubernur Whitlau melakukan peletakan batu pertama pembangunan rumah sakit tersebut. Setahun kemudian, pada 1 Mei 1925, sebuah rumah sakit mata pertama di Padang (Sumatra Barat) resmi berdiri. Susunan pengurus (bestuur) rumah sakit itu adalah: Pelindung (beschermheer): Gubernur W.A.C. Whitlau; Ketua (Voorzitter): Ch. Chr. Ouwerling; Bendahara (Secr. Penningmeester): H.J.D. Veen; Komisaris terdiri dari Sutan Radjat gelar Sutan Masa Bumi, Sim Hong Lie, D. A. Hakim, Abdul Gafar gelar Raja Endah Alam, dan Daud gelar Kari Sutan. Sedangkan jabatan Direktur Dokternya (Geneesheer-Directeur) dipegang oleh ahli penyakit mata Dr. Mohamad Sjaaf, putra Koto Gadang. Seperti sudah diceritakan dalam rubrik Minang saisuak edisi Minggu, 9 Maret 2014, Dr. Mohamad Sjaaf adalah orang Minangkabau pertama yang berhasil meraih gelar doktor (Dr) di bidang medis di Universiteit van Amsterdam pada tahun 1923.
[post_ads]
Dalam foto ini kelihatan suasana meriah saat peresmian rumah sakit itu yang diramaikan pula dengan iringan musik. Masih terlihat pita putih yang terentang sebelum digunting oleh Gubernur Whitlau sebagai tanda diresmikannya pengoperasian rumah sakit itu. Rumah sakit mata tersebut kemudian diberi nama Whitlaustichting, sebagai persembahan bagi Gubernur Whitlau yang dianggap telah berjasa mendorong pembangunan rumah sakit itu.
Adapun fasilitas rumah sakit itu disebutkan sebagai berikut: terdapat kantor ‘Geneesheer-Directeur’ yang ‘bedekatan dengan onderzoekkamer (bilik tempat memeriksa orang sakit). Selandjoetnja [...] ada: polykliniek, apotheek, kamar gelap, tempat orang sakit bagi 10 orang perempoean (dioedjoeng barat), kamar verpleegster, kamar operatie, tempat bagi 10 orang perempoean (dioedjoeng timoer) dan beberapa kamar jang lain-lain poela’. Tampaknya prioritas di rumah sakit itu diberikan kepada penderita sakit mata dari kalangan kaum perempuan.
[post_ads_2]
Disebutkan pula peraturan bagi pasien: ‘1. orang jang miskin tidak [perlu] membajar apa-apa; 2. Orang jang sederhana kemampoeannja tidak membajar, tetapi makanannja haroes ditanggoeng sendiri; 3. Orang jang mampoe diwadjibkan membajar menoeroet tarief (peratoeran harga) jang telah ditetapkan’. Kini, di zaman kemerdekaan, jang tidak mampu membayar rumah sakit ditelantarkan, malah sering ditolak. Mereka yang berduit pergi berobat ke luar negeri naik kapal terbang. Pening awak maagak-agak-i: negara ini majukah atau mundur?
sumber:
Suryadi - Leiden, Belanda (Sumber foto dan teks: Pandji Poestaka, No. 46, Tahoen III, 19 Juni 1925, hlm. 758-61)
EmoticonEmoticon