15 April, 2018

Pakandangan tahun 1910 Malewakan Datuak

MALEWAKAN GELAR DATUAK di Minangkabau pada zaman kolonial harus mengundang pejabat kolonial setempat, seperti komandan militer atau tuan kontrolir (controleur) dan orang-orang penting lainnya. Dalam catatannya ketika bertugas di Pariaman, komandan Militer Belanda, J.C. Boelhouwer (1841) mengatakan bahwa ia juga diundang menghadiri perhelatan seorang datuak di Pakandangan.

[post_ads]
Dia disuruh pula makan sirih dan mencoba makan dengan tangan. Foto ini dibuat sekitar 1910 di kanagarian Cimpago, Padang Pariaman. Tampaknya datuak yang dilewakan gelarnya adalah yang duduk di tengah di bawah payung kebesaran dengan pakaian kebesarannya pula. Di sebelah kanannya duduk seorang Belanda dengan pakaian resminya, lengkap dengan dasinya, yang sangat mungkin adalah pejabat kolonial setempat. Sedangkan yang lain-lain tampaknya adalah para datuak yang diundang dan mungkin juga tuanku laras.

Foto ini memperlihatan model pakaian resmi pejabat pemerintah zaman dulu: jas warna putih dengan kerah tertutup yang dikombinasikan dengan pantalon warna putih. Mereka juga bersepatu, yang membedakannya dengan rakyat berderai. Yang berpakaian warna lain mungkin juga menunjukkan jabatannya dalam administrasi pemerintahan kolonial. Tampaknya warna putih sangat favorit. Mungkin warna itu dipilih sebagai simbol bahwa seorang pejabat pemerintah harus bersih, meskipun dalam kenyataannya banyak juga yang korupsi. Tapi ada yang mengatakan bahwa warna putih dipakai untuk menyesuaikan diri dengan udara tropis yang panas. 
[post_ads_2]
Dulu, para pegawai sipil atau militer Belanda yang didatangkan dari Belanda ke Hindia Belanda akan bertukar pakaian dari warna hitam ke warna putih setelah kapal yang mereka tumpangi melewati wilayah laut Afrika atau Terusan Suez (sesudah terusan itu dibuka bulan November 1869). Di Belanda (atau Eropa pada umumnya) yang berhawa dingin hampir sepanjang tahun, orang pada zaman itu cenderung memakai pakaian berwarna hitam karena warna hitam menyerap panas. Entah kenapa dalam foto ini (dan dalam foto-foto klasik pada umumnya) tak satu pun wajah yang kelihatan tersenyum. Wajah-wajah itu kelihatan tegang, barangkali karena teknologi kamera (fotografi) pada waktu itu masih dianggap aneh dan baru.

sumber:
Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: KITLV Leiden).


EmoticonEmoticon