19 April, 2018

Kajian Intelektual Ulama Minangkabau

Karya-karya yang lahir dari dinamika keagamaan diawal abad XX membuktikan betapa suatu pergolakan intelektual memberikan motivasi kepada para ulama untuk mengkaji hujjah masing-masing, hingga mengarang tulisan sebagai penjelas isu-isu yang ada kepada masyarakat luas. Selain itu, sebagai dijelaskan didepan, adapula karya-karya itu murni sebagai risalah-risalah pengajaran bagi para murid, demi mengokohkan keilmuan yang telah diwarisi oleh generasi sebelumnya.

Disini kita perlu memberi arahan perihal masalah-masalah apa saja yang menjadi topik perbincangan pada masa itu, berikut karya-karya yang terlibat dalamnya. Sebagaimana bidang keilmuan yang menjadi pokok dalam islam, maka klasifikasi dinamika intelektual dalam karya-karya tersebut dikelompokkan ke dalam 3 macam vak keilmuan, yaitu Tarikat (Tasawwuf), Tauhid (Aqidah) dan Fiqih (Furu’). Dari tiga kelompok ini akan terbagi lagi ke dalam beberapa poin persoalan. Selain memetakan karya-karya dalam setiap bidang tersebut, kita akan melengkapinya pula dengan daftar kepustakaan lain yang menjadi literatur masing-masing kelompok.

1. Tarikat (Tasawuf)

Tarikat ialah masalah pertama yang diperbincangkan dimasa ini. Perdebatan mengenai masalah ini dimulai dari keraguan Ulama-ulama Muda terhadap keabsahan Tarikat. Keraguan yang timbul sepertinya kuat dipengaruhi oleh Majalah-majalah kaum pembaru di Mesir, seperti ‘Urwatul Wustqa dan al-Manar, dimana kedua majalah ini menjadi pedoman pembaruan, termasuk kasus di Minangkabau sendiri.

Tarikat sebelum awal abad XX merupakan satu pengamalan keagamaan yang penting, yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat kala itu. Sebagaimana diketahui bahwa Islam masuk ke nusantara diwarnai oleh unsur-unsur Tasawwuf yang cukup kental, maka keberadaan Tarikat yang merupakan satu kearifan Tasawuf telah berusia lama sebagai usia Tasawuf itu sendiri, tapi soal penamaan memang datang kemudian. Kemudian, para ahli nampak berbeda mengenai Tarikat apa yang mula-mula dianut oleh masyarakat Minangkabau. Sebahagian mengungkapkan bahwa Tarikat Syathariyah-lah yang mula-mula menancapkan akarnya di Minangkabau, hal ini dibuktikan dengan eksis-nya surau Ulakan yang dipimpin oleh ulama besar Syekh Burhanuddin Ulakan sebagai sentra jaringan ulama-ulama pada Minangkabau pada masa itu. Sedangkan Tarikat Naqsyabandiyah, menurut keterangannya, baru ada di Minangkabau ketika Syekh Isma’il Simabur pulang dari Mekah, yaitu pada abad ke XIX. Namun keterangan ini nampaknya perlu ditinjau kembali, karena pendapat ini telah menafikan Syekh-syekh Tarikat Naqsyabandiyah yang telah menancapkan pengaruh di pedalaman Minangkabau sebelum Syekh Isma’il Simabur, seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak (w. 1851) yang begitu terkenal, Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus Bonjol (guru Syekh Ibrahim Kumpulan) , Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, Syekh Jalaluddin Cangkiang, Syekh Abdurrahman Batuhampar dan lainnya. Dan pendapat yang menyatakan bahwa Tarikat Syathariyyah yang mula dikenal di Minangkabau perlu didiskusikan kembali, mengingat eksistensi Surau Taram sebagai sentra Tarikat Naqsyabandiyah, yang kabarnya telah ada sebelum kepulangan Syekh Burhanuddin. Arza-pun menyebutkan seorang tokoh Naqsyabandiyah asal Minangkabau, Jamaluddin (abad ke-XVII), yang mula belajar di Pasai, lalu berlayar ke Baitul Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Perkembangan pergolakan intelektual di awal abad XX mula muncul di daerah pedalaman, hal ini tampaknya diakibatkan oleh kultur masyarakatnya yang lebih terbuka terhadap pembaruan, sifat mereka yang lebih kosmopolitan, tentunya bersinggungan dengan Tarikat Naqsyabandiyah yang begitu dominan di daerah ini.

Pada abad XIX Minangkabau adalah sentra Tarikat yang begitu padat. Laporan-laporan kolonial pada masa itu menyebutkan bahwa sebahagian besar penduduk di daerah ini merupakan para menganut Tarikat Naqsyabandiyah. Surau-surau yang menjadi sentra keilmuan Islam di kawasan pedalaman ini tentu beraflisiasi dengan Tarikat. Kelancaran transportasi antara Minang dengan Mekah, karena mulainya peroperasian kapal uap, memberikan dorongan kepada masyarakat Minangkabau untuk naik haji dan belajar di tanah suci. Di Mekah, selain menunaikan ibadah dan belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka, mereka juga bergabung dengan zawiyah-zawiyah sufi yang bertebaran di Tanah Suci, salah satunya bergabung dengan Tarikat Naqsyabandiyah, di Jabal Qubais misalnya. Setelah mereka pulang, disamping membawa gelar haji dan ilmu pengetahuan agama yang cukup, mereka juga membawa ijazah dalam Tarikat Naqsyabandiyah, yang menjadi izin tertulis dari ulama Mekah bahwa seorang itu telah dibolehkan untuk mengajar Tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Maka berdirilah surau-surau Naqsyabandiyah dengan pengikut-pengikut yang lumayan banyak. Diantara guru-guru Tarikat Naqsyabandiyah di Mekah kala itu ialah Syekh Sulaiman Zuhdi.

Adanya penambahan nisbah “al-Khalidiyah” mengiringi “Naqsyabandiyah” merupakan nama yang melekat setelah masa silsilah ke-30 dari Rasulullah, yaitu dimasa Maulana Syekh Khalid Kurdi. Periodesasinya ialah:

1. Dimasa Sayyidina Abu Bakar Shidiq ra. Hingga masa Syaikh Taifuriyah dinamai dengan Shidiqiyah

2. Dari masa Syekh Taifuriyah hingga masa Khawajah Syekh Abdul Khaliq Fajduani dinamai dengan Taifuriyyah

3. Periode Syekh Abdul Khaliq hingga Syekh Bahauddin al-Bukhari dinamai dengan Khawajakaniyah

4. Masa Syekh Bahauddin al-Bukhari hingga Syekh Ubaidullah Ahrar dinamai dengan Naqsyabandiyah

5. Masa Syekh Ubaidullah hingga Imam Robbani dinamai dengan Ahrariyyah

6. Darimasa Imam Robbani hingga Maulana Syekh Khalid dinamai dengan Mujaddidiyah

7. Dimasa Maulana Syekh Khalid hingga saat sekarang ini dinamai dengan al-Khalidiyah

Sejak masa Maulana Syekh Khalid inilah dinamai dengan al-Khalidiyah, lengkapnya dibaca “Tarikat Naqsyabandiyah al-Ahrariyah al-Mujaddidiyah al-Khalidiyah”, lebih lazim disebut dengan “Tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”. Dan inilah yang berkembang pesat di Bumi nan Permai ini, Minangkabau.

Munculnya pergolakan agama pada awal abad XX telah menyulut perdebatan panjang. Lahirnya karya-karya yang membantah keabsahan Tarikat Naqsyabandiyah dari kaum muda, membuat kaum Tua yang teguh memegang Tarikat perlu mendirikan pertahanan untuk menolak segala sangkaan itu, diantaranya lewat tulisan, berikut lewat debat-debat terbuka dan tabligh. Mengenai Tarikat ini, ada beberapa poin terpenting yang menjadi perdebatan antara kaum Tua dan Kaum Muda, Yaitu:

1) Rabithah
Rabithah adalah satu amalan yang menjadi ciri khas dalam Tarikat Naqsyabandiyah. Dalam literatur-literatur Naqsyabandiyah disebutkan bahwa hakikat Rabithah ialah:

أن الرابطة عبارة عن التعلق القلب بشيء على وجه المحبة

“Rabithah itu ialah ibarat daripada menggantungkan hati dengan sesuatu atas wajah jalan kasih”. Maksudnya yaitu menggantungkan hati kepada guru mursyid dengan kasih sayang.

Ada beberapa kaifiyyat dalam melaksanakan rabithah, menurut tingkatan masing-masingnya, mulai dari murid yang mubtadi’ (permulaan), sampai murid yang sudah mencapai tingkat tinggi. Salah satu kaifiyyatnya ialah menghadirkan rupa guru ketika akan melaksanakan zikir.

Kaifiyyah inilah yang dibantah oleh ulama Muda. Yang kemudian ditanggapi oleh ulama-ulama Tua dengan menyatakan dangkalnya pemahaman ulama muda dalam memaknai rabithah yang sejatinya, lengkap pula hujjah-hujjah Naql.

2) Amalan Suluk
Suluk adalah bentuk riyadhah, beribadah mendekatkan diri kepada Allah, lazimnya dilaksanakan selama 40 hari. Dalam proses suluk ini ada beberapa hal yang kemudian dipertanyakan oleh ulama muda, diantaranya perihal meninggalkan makan daging selama suluk dan hal mengurung diri melama 40 hari tersebut.

3) Pengajian “Nur Muhammad”
Pengajian “Nur Muhammad”, dengan kata lain “Pengajian Tuabuah” merupakan salah satu ciri dalam Tarikat Syathariyah. Ia merupakan satu bentuk pelajaran Tasawuf yang bersumber dari pengajian “Martabat Tujuh” yang tersebar di nusantara lewat kitab Tuhfatul Mursalah ila Ruhun Nabi. Untuk kasus Minangkabau ini, risalah-risalah Syekh Abdurra’uf seperti Tanbihul Masyi, memainkan peran penting dalam penjabaran hubungan ontologis antara Tuhan dan Alam tersebut. Pengajian ini kemudian melahirkan satu bentuk Tasawwuf bingkai lokal yang dikenal dengan “Kaji Tubuah” atau “Pangajian A’yan Tsabitah dan A’yan Kharajiyah”.

Inilah 3 hal yang menjadi pokok pergolakan agama antara kaum Tua dan Kaum Muda kala itu, halmana keadaan ini melahirkan motivasi untuk menulis risalah untuk mempertahankan pemahaman masing-masing.

Dari kalangan ulama yang mempertanyakan hal-hal Tarikat (disebut ulama golongan Muda), terdapat beberapa kepustakaan dalam membantah pendirian ulama Tua, antaranya:

1) Izhar Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihm bis Shadiqin

2) Al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin

3) As-Saiful Battar (no. 1-3 ialah karangan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi)

4) Qathi’u Riqab al-Mulhidin

5) Izharu Asatir Mudhillan (no. 4-5 karangan Inyiak Rasul)

6) Penerangan Tentang Asal Usul Tarikat Naqsyabandiyah (Inyiak Jambek)

7) Beberapa artikel dalam Majalah kaum Muda, seperti dalam al-Moenir dan al-Ittifaq wal Iftiraq.

Disamping melakukan analisis sendiri, mereka, ulama golongan muda (terkecuali Syekh Ahmad Khatib) ada menggunakan sumber-sumber dari kalangan pembaharu Mesir untuk mengokohkan hujjah-nya, seperti Majalah al-Manar. Beberapa karangan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim juga memainkan peran penting. Berikut majalah al-Imam dari Malaya, yang diasuh oleh Syekh Thaher Jalaluddin, juga diperhitungkan dalam usaha ulama muda.

Dengan adanya bantahan tersebut, membuat ulama-ulama Tua, yang notabene-nya ulama Tarikat, menulis beberapa karya dalam mepertahankan Tarikat dari penyelewengan tersebut, antara kepustakaan yang terpenting ialah:

1) Irghamu Unufil Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatal Washilin

2) Tanbihul Awam ‘ala Taghrirat Ba’dhil Anam (No. 1-2 karya Syekh Mungka)

3) Burhanul Haq

4) Miftahus Shadiqiyyah fi Ishtilah Naqsyabandiyah

5) Risalah an-Nasyiyah fi Asas Tariqat Naqsyabandiyah (No. 3-5 karya Syekh Khatib Ali)

6) Dawa’ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya’qub

7) Aqwalul Wasithah fiz Zikr war Rabithah (No. 6-7 karya Syekh Sulaiman ar-Rasuli)

8) Risalah Tsabitul Qulub (Syekh Muda Abdul Qadim Belubus)

9) Rahasia Sjari’at dan Hakikat (Syekh Abu Bakar Maninjau)

10) Beberapa karangan Syekh H. Jalaluddin

11) Beberapa artikel dalam al-Mizan dan ar-Radd wal Mardud

12) Karangan-karangan dari Syekh Naqsyabandi yang tidak diterbitkan (masih dalam bentuk manuskrip), seperti sebuah surat keterangan tentang Tarikat Naqsyabandiyah dari Syekh Muhammad Sa’id Bonjol (w. 1979, usia 99 tahun), adapula yang cukup menarik, seperti kitab Nahjatus Salikin yang ditulis oleh Syekh Abdusshamad di Kajai (Talu).

Diantara hujjah ulama berdasarkan kitab-kitab Tasawwuf mu’tamad, seperti Ittihaf Saadatil Muttaqin Syarh Ihya’ Umumiddin dan Ruhul Ma’ani (Tafsir Sufi), mereka juga berpedoman kepada kitab-kitab mu’tabar yang menjadi pegangan dikalangan ulama Tarikat Naqsyabandiyah, diantaranya:

1) Al-Bahjatus Saniyyah fi Adabit Tariqatil Aliyah Naqsyabandiyah
Karya ini ditulis oleh Syekh Muhammadi bin Abdullah al-Khani an-Naqsyabandi, salah seorang khalifah dari Maulana Syekh Khalid Kurdi. Karya ini menjadi pengangan ulama-ulama Tua, didalamnya terdapat penjelasan penting mengenai Tarikat ini. Untuk beberapa lama karya ini menjadi sangat langka, hingga keberadaannya sering disembunyikan. Terakhir, karya ini telah dicetak ulang di Mesir (2005) dan satu penerbit di Turki, yaitu Hakikatkitabevi, telah membebaskan hak cipta risalah ini, sehingga dapat dipublikasikan dimanapun dan oleh siapapun.

2) Ar-Rahmatul Habithah fiz Zikri Ism Zat war Rabithah
Ditulis oleh Syekh Husen ad-Dausari al-Bashri as-Syafi’i al-Khalidi, salah seorang murid dari Syekh Ismail al-Minangkabawi. Karya ini hingga saat ini menjadi satu karya yang cukup langka. Hanya beberapa Syekh tua yang menyimpannya. Karya ini menguraikan panjang lebar mengenai Zikir Ismuz Zat dan Rabithah yang sering dipertanyakan oleh orang awam. Isinya sangat menarik, disamping menggunakan bahasa Arab, disertai juga dengan terjemahannya dalam bahasa Melayu (huruf jawi), didalamnya disebutkan beberapa Qashidah yang menunjukkan ketinggian Tarikat Naqsyabandiyah, dan bantahan terhadap kerancuan orang-orang yang membantah Tarikat ini. karya ini terbit di mekah oleh Mathaba’ah Makah al-Muhammiyah pada tahun 1886, atas jasa dari Syekh Ahmad Mansur Baz.

3) Majmu’atur Rasa’il ‘an Ushulil Khalidiyyah ad-Dhiya’iyah al-Mujaddidiyah an-Naqsyabandiyah (=kumpulan 18 Risalah penting dan surat-surat Syekh Sulaiman Zuhdi mengenai asas-asas pokok Tarikat Naqsyabandiyah).

Karya ini ialah sebuah bundel, kumpulan risalah-risalah dan surat-surat yang ditulis oleh Syekh Sulaiman Zuhdi, seorang Syekh Naqsyabandiyah yang masyhur dan terkenal banyak mengeluarkan khalifah-khalifah untuk wilayah nusantara, di Jabal Abi Qubais. Karya ini menjadi satu risalah yang begitu penting mengenai Tarikat Naqsyabandiyah, dimana keberadaannya juga langka, yang hanya dimiliki oleh Syekh-syekh berusia tua. Diantara risalah-risalah penting dalam bundel ini ialah Shahifatus Shafa li Ahlil Wafa (tentang 17 tingkatan zikir dalam Naqsyabandi), Nahjatus Salikin wa Bahjatus Salikin, Mahsiratus Salikin ‘ala Sairatus Sa’irin dan Tubshiratul Fashilin ‘an Ushulil Washilin (tentang Rabithah). Risalah ini dicetak di Mekah, tanpa menyebutkan tahun.

4) Mawahib Rabbal Falaq Syarh Qashidah Bintil Mailiq
Karya ini merupakan karya terjemahan dari karya Syekh Ibnu Alan an-Naqsyabandiyah, yang merupakan syarah (penjelasan) tentang Qashidah bintil Mailiq. Meski matan-nya, Qashidah itu, menguraikan tentang Tarikat Syazili, namun Syekh Ibnu Alan memberikan komentar karya ini dengan menjelaskan seluk beluk Tarikat Naqsyabandiyah. Karya ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh Syekh Ismail al-Khalidi al-Minangakabawi. Karya ini kemudian tersebar dikalangan penganut Tarikat di dunia Melayu, terutama di Minangkabau. Disamping disebarkan dalam bentuk manuskrip, juga dalam bentuk cetakan. Salah satunya dicetak di Fort de Kock (Bukittinggi), pada percetakan Inyiak HMS Sulaiman (Mathba’ah Islamiyah), pada tahun 1928, atas izin dari waris Syekh Ismail, yaitu Abdullah bin Isma’il al-Khalidi.

5) Beberapa Risalah yang membantah Syekh Ahmad Khatib dan membela Tarikat Naqsyabandiyah, diantaranya as-Suyuful Maslulah karangan Syekh Husein Ahmad al-Hindi, berikut karangan-karangan Sayyid Muhammad bin Mahdi bin Lahudi al-Hasani al-Kurdi dan Allamah Umar bin Salim al-Attas. Hadirnya karya-karya ini memberikan dukungan kepada ulama-ulama Minangkabau untuk mempertahankan Tarikat Naqsyabandiyah.

6) Tanwirul Qulub fi Mu’amalati Alamal Ghuyub dan Mawahib Sarmadiyah
Dua karya ini sangat terkenal di nusantara, khususnya di Minangkabau. Dikarang oleh seorang ulama kenamaan, yang alim, pernah menjadi pengajar di Universitas al-Azhar, yaitu Syekh Muhammad Amin Kurdi al-Irbili asy-Syafi’i al-Asy’ari an-Naqsyabandi. Karya pertama, Tanwirul Qulub, dibagi kedalam 3 bab besar. Bab I mengenai ilmu Tauhid berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah, Bab II mengenai hukum-hukum Fiqih berdasarkan Mazhab Imam Syafi’i dan Bab III mengenai Tasawwuf, terutama Tarikat Naqsyabandiyah. Kitab kedua, Mawahib Sarmadiyah, merupakan karya yang berisi tentang Manaqib (biografi) ahli Silsilah Tarikat Naqsyabandi, mulai dari Rasulullah hingga pemangku Tarikat itu pada masa kini. Kitab Tanwirul Qulub ini dicetak dan tersebar luas, mudah ditemui di toko-toko kitab. Sedang kitab kedua, agak kurang diperhatikan, kecuali oleh para Syekh terkemuka, walaupun dulu nama kitab ini begitu populer.

7) Jami’ul Ushul fil Auliya’
Karya ini ditulis oleh Syekh Ahmad al-Khamaskhanawi an-Naqsyabandi. Isinya, disamping menguraikan ajaran-ajaran Tarikat Naqsyabandiyah, juga meriwayatkan Manaqib Syekh Baha’uddin Syah Naqsyabandi (pendiri Tarikat Naqsyabandiyah) berikut menjelaskan istilah-istilah populer yang terdapat dalam Tasawuf. Pada mulanya kitab ini termasuk karya langka, namun beberapa dasawarsa terakhir telah dicetak ulang oleh sebuah penerbit kitab kuning di Jakarta, yaitu al-Haramain, sehingga dapat dijumpai di toko-toko kitab di Bukittinggi.

Itulah beberapa bibliografi seputar Tarikat Naqsyabandiyah pada awal abad XX. Sedangkan mengenai perbantahan tentang Tarikat Syathariyah, yang mulanya didedah habis oleh Dr. Abdul Karim Amarullah, lewat Qathi’u Riqab al-Mulhidin, mengenai hal ini kita tidak mempunyai cacatan mengenai pembelaan kaum Syathariyah sendiri. Meski begitu kita mendapati beberapa karya mengenai “Pengajian Tubuh”, yang sebahagian besarnya dalam bentuk manuskrip di Pariaman. Sebahagian besar karya itu memberikan pengukuhan terhadap pengajian “Nur Muhammad”, dan hanya sebahagian kecil yang jelas-jelas menunjukkan bantahan terhadap kaum Muda dalam masalah ini. Diantara karya itu berbentuk sya’ir yang dicetak di Padang Panjang. Diantara karya-karya pengukuhan terhadap “Pengajian” ini ialah:

1) Tahqiq Syathari

2) Sya’ir Ihwal Jalan

3) Sya’ir Siriah (No. 1-3 ditulis oleh Syekh Sidi Jamadi)

4) Sya’ir Tarikat serta Tasawuf (ditulis oleh Mad Abut gelar Tuanku Kari Lubuk Alung, terbitan Tandikek Padang Panjang)

5) Beberapa karya yang tidak diterbitkan (dalam bentuk manuskrip), seperti Risalah Lubuak Ipuah oleh Syekh Lubuk Ipuah, beberapa tulisan dari Syekh Aluma Koto Tuo (berbentuk sya’ir), beberapa tulisan dari murid-murid Syekh Isma’il Kiambang (dalam tulisan latin) dan lainnya.

Selain karya diatas, kita juga menemui literatur-literatur yang menjadi pegangan para Ahli Tarikat Syathari, diantaranya, yang paling istimewa, karya-karya Syekh Abdurra’uf yang tersebar di Minangkabau, seperti Bayan Tajalli, Daqa’iqul Huruf, Tanbihul Masyi dan Kifayatul Muhtajin. Selain itu ada karya-karya ulama Mekah dan India, seperti Simitul Majid oleh Syekh Ibrahim al-Kurani dan Tuhfatul Mursalah oleh al-Burhanpuri.

Disamping itu, kita juga memperoleh beberapa manuskrip perihal pengajian “Nur Muhammad” tersebut, yang bukan ditulis oleh kalangan Syathari, namun oleh penganut Tarikat Samaniyah. Salah satu diantaranya yang cukup menarik ialah sebuah sya’ir anonim yang diberi titel Sya’ir Tharikat Nuraniyah Rabbaniyyah Khalawatiyah Muhammadiyah dan Samaniyah. Sampai saat ini ditemui 2 versi sya’ir ini, pertama, salinan Buya Muhammad Ridhwan Sungai Pagu (w. 1982), dan kedua versi Manuskrip Simpang Tonang, Pasaman Barat (yang diwarisi oleh Pandeka Sutan Duo Koto). Diantara isinya ialah:
[lock]Inilah sya’ir tharikat namanya Pada Tuanku Syaikh Talang Babungo
Wa fi dubdari alam sempurnanya
A’udzubillah penolak balanya
Bismillah itu hendak disya’irkannya
Supaya ‘asyiq segala saudaranya

Johan perkasa Syah(i) alam
Menentang qaba qausain pada siang dan malam
Ke bahrul adam ia tenggelam
Bijaksana dzuq-nya dalam
…………
Mengenal diri sangatlah mudah
Sebab dibebal menjadi susah
Rupa yang zhahir jangan diubah
Itulah bernama sifat ma’nawiyah

Wahdatul wujud jalannya lancar
Alam-nya bebal ma’rifat-nya mungkir
Kalau tidak pada guru yang sikir
Tentulah masuk neraka sa’ir [/lock]
Ditemuinya teks-teks ini memberikan bukti betapa “Pengajian Tubuh” menjadi salah satu corak Tasawuf yang mempunyai bekas mendalam dikalangan Sufi di Minangkabau.

2. Fiqih (Furu’)

Furu’ Fiqih merupakan salah satu topik yang cukup hangat dibicarakan pada awal abad XX. Sebagaimana ditulis didepan bahwa di nusantara, khususnya Minangkabau, dikenal erat memegang Mazhab Syafi’i dalam furu’ syari’at. Lahirnya paham pemabaharuan yang mempertanyakan Mazhab-mazhab fiqih yang ada, yang dikatakan sebagai sebab kemunduran Islam, membawa perdebatan dikalangan ulama, yang terbagi ke dalam dua kelompok berikutnya.

Diantara masalah-masalah Fiqih yang menjadi perbincangan hangat diawal abad XX di Minangkabau, berikut kepustakaan kepejuangan dalam masalah-masalah tersebut, diantaranya:

1) Masalah Taqlid
Ulama Muda berpendapat bahwa taqlid dalam syari’at itu tidak harus, malah ada yang radikal dikalangan mereka, dengan menyatakan bahwa taqlid itu sebab utama kemunduran umat Islam pada masa kini. Sedangkan dikalangan kaum Tua, menyatakan bahwa setiap muslim yang tidak mampu mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah, wajib bertaqlid kepada salah satu Mazhab yang 4 (mu’tabar).

Adapun kepustakaan yang terlibat dalam masalah ini ialah: [kalangan ulama Muda] diantaranya buku Pedoman Guru: Pembetul Kiblat faham keliru (H. Abdul Karim Amarullah) dan banyak artikel dalam al-Moenir dan al-Ittifaq wal Iftiraq. [kalangan Tua] untuk merespon faham Muda dalam masalah ini mereka menulis, antara lain Intisharul I’tisham (Syekh Khatib ‘Ali); beberapa tulisan dalam Tanbihul Awam (Syekh Mungka); beberapa bait sya’ir dalam Kitab Enam Risalah (Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan banyak artikel dalam al-Mizan dan ar-Radd wal Mardud.

2) Melafazkan Niat (Ushalli)
Masalah Ushalli atau melafazhkan niat menjadi satu topik yang sangat hangat. Dikalangan ulama Muda menilai bahwa Ushalli itu bid’ah belaka. Sedangkan dikalangan ulama Tua, dengan merujuk kepada Imam Nawawi, menyebutkan bahwa Ushalli itu sunnat untuk penolong hadir penghadirkan niat.

Kepustakaan pejuang dalam hal ini ialah: [kalangan Muda] seperti kitab al-Fawaid al-‘Aliyah (H. Abdul Karim Amarullah) dan beberapa artikel dalam Majalah ulama Muda. [kalangan Tua] diantaranya satu tulisan dalam Tanbihul Awam (Syekh Mungka), satu bagian dalam Burhanul Haq (Syekh Khatib ‘Ali), Kitab Enam Risalah (Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan banyak artikel dalam majalah-majalah ulama Tua. Kemudian datang Risalah dari Mekah, yaitu Khuttatul Mardhiyah karangan Syekh Ahmad Khatib yang mempertegas pendirian Ushalli sebagai sunnat.

3) Berdiri Maulid (berdiri Marhaban)
Kegemaran masyarakat waktu itu ialah memperingati kelahiran nabi (Maulid) dengan membaca kisah-kisah Maulid, seperti Barzanji dan Syaraful Anam. Dan ketika tiba pada bacaan “Nabi Lahir” mereka serempak berdiri untuk menghormati Nabi Muhammad. Datangnya gelombang ulama Muda menyatakan bahwa berdiri Maulid merupakan Bid’ah yang harus dicegah. Di kalangan kaum Muda lahir risalah, seperti kitab Aiqazul Niyam (H. Abdul Karim Amarullah) dan beberapa artikel dari Majalah di Padang. Sedangkan dikalangan kaum Tua lahir buku Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan (Syekh Sulaiman ar-Rasuli) dan Burhanul Haq, berikut Risalah Mau’izhah wa Tazkirah (Syekh Khatib ‘Ali), tentunya juga artikel-artikel dalam Majalah kaum Tua.

4) Harta Pusaka
Minangkabau yang kuat dengan adat Pusaka, diantara dalam pewarisan, menimbulkan perdebatan pula di Minang. Diantara ulama yang menyatakan harta pusaka sebagai harta syubhat ialah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam karyanya Minhajul Masyru’. Namun dikalangan ulama yang mukim di ranah Minang, apakah kaum Tua dan kaum Muda umumnya sepakat bahwa harta Pusaka itu harta musabalah yang diwarisi turun menurun. Sedangkan dalam harta pencaharian para ulama sepakat bahwa harta tersebut mesti diwariskan menurut faraidh. Dan para ulama itu aktif mengajarkan ilmu faraidh di surau-surau mereka, seperti Syekh Mungka. Adapula yang mengarang buku seperti Dr. Abdul Karim Amarullah dalam karyanya al-fara’idh.

5) Masalah Qunut
Sebahagian kaum Muda berpendapat bahwa Qunut Subuh itu merupakan bid’ah belaka. Sedangkan dikalangan ulama Tua, layaknya pengikut Syafi’iyah, teguh menyatakan bahwa Qunut Subuh itu sunat. Diantara ulama yang mempertahankan Qunut seperti Dr. Abdul Karim Amarullah. Meski disebut sebagai gerbong ulama Muda, beliau dalam masalah Qunut termasuk tokoh yang mempertahankannya, disamping ulama-ulama Tua. Beliau menulis buku untuk mempertahankan Qunut dengan titel as-Syir’ah (terbitan Tsamaratul Ikhwan, Bukittinggi)

6) Masalah furu’ lainnya.
Masalah-masalah lain, dengan frekuensi perdebatan yang lebih kecil antara lain: (1) Nikah Muhallil, dengan kepustakaan Pembuka Mata (HAKA); (2) Hisab dan Rukyah; (3) Hukum perempuan shalat ‘Id dilapangan; (4) masalah meniga hari hingga menseratus hari; (5) masalah Talaq Tiga sekaligus, salah satu kepustakaannya ialah Risalah Tanbihul Manam karangan Abdullah Qari bin Syekh Hasyim Mudik Tampang Rao (Murid Syekh Khatib Ali); dan lain sebagainya.

3. Tauhid (Aqidah)

Aspek Tauhid menjadi perdebatan pula di awal abad XX, meski perbincangan mengenai masalah yang satu ini tidak meluas sehebat perkara Tarikat. Perkara yang pernah menjadi perdebatan ialah masalah mengaji “Sifat Dua Puluh”. Pemicu perdebatan itu hanya dilontarkan oleh segelintir, yang namanya tidak pula dikenal dari dikalangan ulama-ulama Muda. Sebagaimana diketahui, bahwa antara kaum Tua dan kaum Muda tidak berbeda dalam so’al i’tiqat, mereka sama-sama memegang Ahlussunnah wal Jama’ah (kecuali dalam satu dua masalah furu’-nya), sama-sama mengaji dan mengajar Sifat Dua Puluh sebagai ciri khas Mazhab Asy’ary. hal ini dapat kita cermati dari karangan-karangan dua kelompok ini, dinama ulama-ulama tersebut menyebutkan bahwa mengetahui Sifat Dua Puluh, yang termaktup dalam Aqidah Limapuluh, merupakan wajib ‘ain bagi setiap Mukallaf.

Barulah pada tahun 1340 (1910), ada seorang Haji yang dari Sumpur, bernama Haji Muhammad Karim, yang menulis nazham Aqidah Lima Puluh. Dalam Nazham tersebut dikatakanlah bahwa mengaji Sifat Dua Puluh itu ialah Bid’ah yang sesat, sebab tidak diperbuat oleh Rasul katanya. Hadirnya risalah ini tentu menyulut perdebatan pula. Diantaranya, yang memberi reaksi, ialah Labai Sidi Rajo yang menulis sebuah Sya’ir untuk menolak Haji Muhammad Karim dan siapa-siapa yang menolak pengajian Sifat Dua Puluh dalam majalah al-Mizan. Bantahan terhadap Haji Muhammad Karim ini yang cukup berwibawa dan terkemuka ialah karya Syekh Janan Thaib Bukittinggi, lewat karyanya al-Muqmatus Shakharam fi Raddi ‘ala man Ankara ilmal Kalam. Meski dicetak di Mekah, karya ini tersebar Minangkabau, dan kita memperoleh keterangan bahwa karya ini dijual di toko-toko kitab di Fort de Kock (Bukittinggi) masa itu, seperti di toko Haji Jalaluddin Thaib.

Disamping Syekh Janan Thaib, ada banyak karya yang lahir di awal abad XX yang mengukuhkan “Pengajian Sifat Dua Puluh”. Diantaranya ditulis dalam bentuk nazham, yaitu Kitab Ushul Diyanah, ditulis oleh Muhammad Dahid gelar Malin Bonso Koto Tangah Padang. Karya ini cukup menarik, disamping padat isi, juga ditulis dengan rupa-rupa shurah (gambar), sedangkan penjelasannya dalam bentu Nazham. Diantara petikan Nazham yang mengokohkan “Sifat Dua Puluh” yaitu:
[lock]Sifat Dua Puluh ilmu Aqidah
Sebelum ini aturan sudah
Cukup dalilnya berbagai surah
Ambil Fahamnya, Tuan lihatlah

Tuan lihatlah dahulu nyata
Dari awal risalah hingga sempurna
Berbagai surah, misal, dalilnya
Supaya tahqiq hati menerima [/lock]

Karya ini ditaqrizh dan ditahqiq oleh ulama-ulama ketika itu, yaitu (1) Tuanku Haji Muncak Lubuk Alung; (2) Guru Muhammad Shaleh Tujuh Koto Pariaman; (3) Guru Faqih Muhammad Shaleh Anduring, Padang; (4) Tuanku Haji Marzuki, Sukomananti, Talu; (5) Guru Syafi’i (tamatan Jaho); (6) Tuanku Pakiah Sati, ulama Koto Tangah; (7) Tuanku Haji Khatib Umar (guru Tarbiyatul Ishlah, Koto Tangah); (8) Tuanku Haji Muhammad Kajai Talu; dan (9) Tuanku Syekh Abdul Majid Lubuk Landur (Pasaman Barat)

Disamping itu ada juga karya-karya lain yang perlu dicatat, yaitu Risalah Libasul Iman karangan Angku Mudo Abdul Jalil Bonjol (terbitan Kahamy, Bukittinggi). Pengarangnya, konon, merupakan ahli falaq yang masyhur disamping alim dalam agama. Beliau pernah menimba ilmu di Timur Tengah, wafat pada tahun 1960, hidupnya sezaman dengan Syekh Muhammad Sa’id Bonjol yang terkenal itu.

Risalah selanjutnya ialah Kitab Empat Risalah [(1) Permulaian I’tiqat kepada Allah; (2) Anwarul Iman; (3) Mau’izhah; (4) Nurul Hidayah] karangan Tuanku Mudo bin Syekh Abdul Ghani Guguk Tinggi (terbitan Durekrij Islamiyah, Fort de Kock, 1931). Dalam karya ini dijelaskan tentang pengajian Tauhid, berikut sifat-sifat yang wajib bagi Allah.

Disamping masalah Sifat Dua Puluh, masalah lain dalam bidang aqidah yang cukup menghebohkan ialah masalah kelompok Ahmadiyah Qadiyani. Ahmadiyah sendiri masuk ke negeri Minangkabau di era-20-an, dibawa oleh beberapa murid Thawalib Padang Panjang setelah berguru kepada juru dakwah Ahmadiyah, Rahmat Ali (Mubaligh Ahmadiyah yang datang dari India), di Tapak Tuan, Aceh. Para ulama, apakah dari kaum Tua, maupun kaum Muda, sejalan dalam hal ini, yaitu membentengi umat dari kaum Ahmadiyah tersebut. Beberapa karya yang lahir untuk menolak pendirian Ahmadiyah, seperti Syekh Muhammad Thaher Jalaluddin (1869-1956), mufti besar Pulau Penang asal Ampek Angkek Bukittinggi, menulis risalah yang berjudul Perisai Orang Beriman: Pengisai Mazhab Orang Qadiyan (Singapura: Setia Press, 1930); kemudian dari yang ‘alim Maulana Syekh Muhammad Jamil Jaho (w 1940), yang dimasyhurkan orang dengan “Angku Jaho” menulis Nujumul Hidayah fi Raddi ‘ala Ahlil Ghiwayah; berikut Syekh Dr. Abdul Karim Amarullah, ayah dari Buya Hamka, menggoreskan kalam dengan judul al-Qaulus Shahih (diterbitkan atas nafkah Datoek nan Bareno, Drukkrerij Persatoean Moehammadijah Djojakarta, 1926); kemudia Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871-1970), mengungkapkan perihal Ahmadiyah tersebut dalam Risalah Aqwalul Mardhiyah (Bukittinggi: Maktabah Islamiyah, 1950).

Inilah diantara dinamika intelektual antara kaum Tua dan Kaum Muda dalam hal i’tiqat.
SumBer : http://surautuo.blogspot.com


EmoticonEmoticon