12 April, 2018

Hotel di Sumatera Barat tahun 1900-an

Solok merupakan salah satu daerah yang sudah sejak dulu menarik banyak orang luar. Salah seorang di antaranya adalah Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris di Bengkulu dan Jawa, yang mengnjungi daerah Solok dalam perjalanan menuju Pagaruyung pada bulan Juli 1818. Banyak hal yang dicatat oleh Raffles mengenai daerah ini dan penduduknya. Yang cukup lucu di antaranya adalah sifat perempuannya yang sedikit agak mantiak dan tidak takut kepada orang asing. Demikianlah umpamanya ketika Raffles hendak mandi di sebuah sungai di belakang pasar Solok, sejumlah perempuan ingin pula ikut, sehingga membuat si bule itu kelabakan. Niat saya untuk mandi tidak lagi menjadi rahasia karena perempuan-perempuan desa langsung bergerombol mengelilingi saya dan bersikeras menemui saya hingga ke tempat mandi. Sebesar apa pun keingintahuan mereka, dengan segala kerendahan hati saya tidak sanggup menyanggupi permintaan itu, dan saya bersedia mengecewakan mereka dan diri saya sendiri…, demikian tulis Raffles kepada pendukungnya Duchess of Somerset (lih.: Anthony Reid, Sumatra Tempo Doeloe, 2010:201).

foto klasik Hotel Talang di Solok, salah satu hotel tertua di kota ini. Keberadaan hotel ini menunjukkan bahwa Solok juga sudah lama menjadi daerah tujuan wisata di dataran tinggi Minangkabau. Foto ini dibuat sekitar 1900 dan merupakan salah satu foto dalam album yang berjudul Souvenir de Voyage West-Sumatra en West-Java. Foto ukuran 17×23 cm. ini semula dimiliki oleh B.N. Teensma sebelum disimpan di KITLV Leiden tahun 1965.
[post_ads]
Dalam foto ini kelihatan satu keluarga Eropa yang sedang menginap di Hotel Talang. Tidak disebutkan nama kepala keluarga ini, tapi sangat mungkin mereka adalah bagian dari pegawai kolonial yang berpangkat cukup tinggi. Mungkin mereka datang dari Padang atau dari luar Sumatra Barat. Lihatlah model pakaian Eropa pada waktu itu. Pakaian para wanitanya masih merefleksikan Zaman Victoria: gaun panjang yang malepai tanah. Di latar belakang terlihat Hotel Talang yang sudah memakai atap genteng dan di terasnya tampak dua orang pribumi.

Foto ini memprensentasikan sekelumit sejarah pariwisata di Solok. Mungkin bagus juga jika foto ini direproduksi dan dipajang di lobby hotel-hotel besar yang ada di Solok sekarang (dan tentu saja di Kantor Dina Pariwisata Solok), sehingga para tamu mendapat kesan bahwa Solok adalah kota wisata sejak dulu, dan oleh karenanya perlu untuk dikunjungi.

HOTEL MERAPI

Alam Minangkabau yang indah rupanya sudah cukup lama menjadi destinasi pariwisata orang Eropa. Mula-mula yang menikmati keindahan alam dan dan keunikan budaya Minangkabau itu hanya wisatawan pejabat kolonial Hindia Belanda dari Batavia yang melakukan turne ke Sumatra Barat. Namun, menyusul selesainya pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada tahun 1893, kapal-kapal dari Eropa secara reguler singgah di Padang yang juga membawa para pelancong dari Eropa yang ingin menikmati keindahan alam Minangkabau.


Sampai akhir zaman kolonial pariwisata di Hindia Belanda masih dilakoni oleh orang Eropa. Orang Indonesia sendiri (pribumi) sebenarnya tidak punya konsep vacation sebagaimana yang dimaknai oleh orang Eropa. Beda budaya tentu beda pula cara memaknai relaksasi. Bagi kita kalau liburan, artinya pergi mengunjungi sanak famili.

Hotel jelas punya hubungan erat dengan budaya pelancongan. Foto ini, yang berjudul Hotel Merapi te Padang-Pandjang (Hotel Merapi di Padang Panjang) dibuat tahun 1899. Tidak ada keterangan siapa produser foto yang berbentuk kartu pos ini. Dalam foto ini kelihatan satu kelurga dengan anak-anaknya. Barangkali mereka adalah pemilik atau tamu yang menginap di hotel ini.

Menarik juga melihat bentuk bangunan hotel ini: atapnya berbentuk tungkuih nasi, model yang juga dipakai oleh beberapa hotel yang awal muncul di Padang paroh kedua abad ke-19, seperti Hotel Aceh, Hotel Sumatra, dll. Atapnya juga masih belum mengenal sirap, masih atap daun kelapa atau rumbia.

Foto ini setidaknya memberikan informasi bahwa sudah cukup lama hotel muncul di kota kecil seperti Padang Panjang. Walaupun kotanya tidak begitu besar, Padang Panjang sangat strategis letaknya: yaitu sebagai kota transit bagi para pedagang atau siapa saja yang melakukan perjalanan dari kawasan pantai barat Sumatra ke pedalaman Minangkabau atau sebaliknya. Tapi Padang Panjang, seperti halnya Bukittinggi (Fort de Kock) berfungsi sebagai kota tempat tetirah bagi kalangan menengah dan atas dalam masyarakat kolonial di Sumatra Barat, khususnya bagi mereka yang bekerja di Padang, kota yang karena terletak dekat pantai jadi bersuhu panas.

Pada tahun 1913 Official Tourist Bureau (Dinas Pariwisata) Hindia Belanda di Batavia menerbitkan buku Sumatra: Illustrated tourist guide: a fourteen days trip in the Padang highlands (the land of Minangkabau) yang ditulis oleh L.C. Westenenk. Buku itu mempromosikan keindahan alam Minangkabau dan keunikan budayanya kepada calon turis dari Eropa. Seiring dengan beberapa hotel baru dibangun di Padang, seperti Hotel Oranje, Hotel Kruys, dll.
minang saisuak[post_ads_2]

Hotel Sumatera, Padang

PADANG sejak dulunya sudah menjadi kota bisnis dan kota wisata di Hindia Belanda. Di zaman kolonial Padang adalah kota termaju di pantai barat Sumatra. Menjelang pergantian abad ke-19 dan abad ke-20, kota Padang boleh dibilang relatif telah memenuhi kriteria kota modern. Pada masa itu di kota ini sudah ada perusahaan asuransi, hotel, klub eksekutif dan bisnis, bioskop, grup musik, dan surat kabar. Kapal-kapal dari dan ke Eropa selalu singgah di pelabuhan Emma Haven (sekarang: Teluk Bayur) yang dibangun Belanda pada tahun 1888. Penduduk Padang pada waktu itu sudah terdiri dari berbagai suku bangsa: pribumi, Eropa, dan bangsa-bangsa Asia lainnya.

Foto Hotel Sumatra, hotel yang pertama didirikan di Padang. Foto ini dibuat tahun 1867 oleh Woodbury & Page, pionir tukang foto profesional di Batavia pada masa itu. Terakhir, sebelum sampai ke KITLV Leiden, foto ini dikoleksi oleh G.P. Rouffaer di Den Haag. Lokasi Hotel Sumatra kira-kira dekat Penjara di Berok sekarang. Lihat bangunannya yang masih terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Kalau menginap di hotel ini mungkin ada tukang kipasnya karena pada waktu itu belum ditemukan teknologi kipas angin, apalagi AC. Pada masa itu juga belum ada alat transportasi mobil; yang ada baru kereta kuda seperti yang sedang diparkir di halaman hotel ini. Tentu saja dapat diperkirakan bahwa tamu-tamu yang menginap di hotel ini hanya orang kulit putih dari kelas sosial yang tinggi saja.

Boleh dibilang bahwa Hotel Sumatra adalah pionir dunia perhotelan di Padang. Pada dekade-dekade berikutnya muncul hotel-hotel lain, seperti Hotel Atjeh, Hotel Oranje dan Hotel Kong Bie Hiang. Mungkin beberapa bangunan hotel tua yang masih tersisa di Padang dapat dilestarikan sebagai aset wisata sejarah kota ini, yang rupanya pernah jaya di masa lalu.
sumber:
Suryadi Leiden, Belanda.


EmoticonEmoticon