13 April, 2018

Buku Ulama-ulama Luhak nan Bungsu

Foto: Cover Buku "Ulama Luak nan Bungsu"
Setelah menunggu lama, buku “Ulama-ulama Luak nan Bungsu: Cacatan Biografi Ulama Luak Limopuluah Kota dan Perjuangannya” akhirnya terbit. Buku setebal xviii+379 halaman ini diterbitkan oleh Minangkabau Press, Padang, setember 2011, ditulis oleh seorang peneliti mandiri karya-karya klasik, Apria Putra. Sebenarnya draf buku ini telah rampung akhir desember 2010, namun karna berbagai kendala, buku ini baru naik cetak september. Rencana penulis, buku ini tidak dijual untuk umum. Andai buku yang lebih dari 100 eks dijanjikan oleh pihak penerbit sampai dengan segera di Padang, penulis bermaksud menymbangkannya pada instansi, perorangan dan surau-surau yang mempunyai terkaitan dengan isi buku ini. Semoga lekas.
Buku ini merangkum biografi ringkas 50 Ulama yang pernah mencapai keemasan di era kejayaan Surau di Luak Limopuluah Kota. Pengambilan ide 50 ulama sendiri sebagai acuan penulisan, menselaraskan nama Luak 50. Semoga ulama-ulama lain, yang lebih banyak dari 50 tokoh ini, dikemudian hari dapat dirangkum dalam buku yang lebih lengkap.

Adapun ulama-ulama yang ditulis dalam buku ini ialah:[lock]
1. Syekh Ibrahim Mufti “Beliau Keramat nan Tuo” Taram
2. Syekh Abdurrahman Batu Hampar
3. Maulana Syekh Abu Bakar Tabiang Pulai Koto Baru Mungka
4. Syekh Abu Bakar “Datuak Gaek” Taeh Bukik
5. Syekh Muhammad Jamil “Beliau Tungkar”
6. Syekh Abdullah “Beliau Puncak Pakuang” Padang Japang
7. Syekh Muhammad Shaleh “Beliau Munggu” Padang Kandis
8. Syekh Muhammad Thaha Limbukan
9. Syekh Muhammad Arsyad Batu Hampar
10. Syekh Muhammad Sa’ad al-Khalidi “Beliau Surau Baru” Mungka
11. Syekh Abdullah “Beliau Halaban”
12. Syekh Ahmad Baruah Gunuang
13. Syekh Abdul Hamid “Beliau Tanjuang Ipuh”
14. Syekh Muhammad Arifin bin Syekh Arsyad Batu Hampar
15. Tuanku Mudo Alwi Koto nan IV
16. Syekh Abdul Wahid as-Shalihi “Beliau Tabek Gadang”
17. Maulana Syekh Muda Abdul Qadim “Beliau Belubus”
18. Syekh Ibrahim Harun “Beliau Bomban” Tiakar
19. Syekh Haji Jamin Taeh Bukik
20. Syekh Adimin ar-Radji Taram
21. Syekh Muhammad Kanis “Tuanku Tuah” Batu Tanyoh
22. Syekh Mukhtar “Tuanku Lakuang” Lampasi
23. Syekh Muhammad Djamil Sa’adi Mungka Tuo
24. Buya H. Rusli Abdul Wahid - Suliki
25. Buya Syahidan Syarbaini Mungo
26. Syekh Sa’in bin Yusuf Dt. Kondo nan Bajolai
27. “Beliau Keramat Tanjuang Lilin” Taeh Bukik
28. Syekh Abdurrahman gelar “Haji Piobang” Payakumbuh
29. Syekh Surau Durian Taram
30. Syekh Abdul Karim Koto nan Gadang
31. Syekh Bustami Batu Balang
32. Syekh Muhammad Nur Baruah Gunuang
33. Beliau Sungai Ameh Taram
34. Tuanku Mudo Marah Limbukan
35. Tuanku Imran Limbukan
36. Syekh Muhammad Salim Sikabu-kabu
37. Angku Karuang Sicincin Payakumbuh
38. Tuan Syekh Beringin
39. Syekh Jalaluddin Sicincin Payakumbuh
40. Syekh Rasyid Thaher “Beliau Perambahan”
41. Syekh Abdul Majid Koto nan Gadang
42. Syekh Isma’il al-Khalidi “Beliau Tabiang Runtuah”
43. Syekh Haji Ruslan Limbukan
44. Syekh Abdurrahman Simalanggang Payakumbuh
45. Syekh Mahmud Abdullah “Beliau Tarantang” Harau
46. Syekh Dzulqarnain Situjuh
47. Buya Juned al-Mashri Situjuah Banda Dalam
48. Syekh Malin Saidi Koto nan Gadang
49. Tuanku Haji Darusan Indobaleh Mungo
50. Buya Abdullatif Kapur IX[/lock]
Disini, dikutip kata pengantar penulis dalam Buku “Ulama Luak nan Bungsu” sebagai berikut:

SEKAPUR SIRIH DARI PENULIS

الحمد لله الذى كرّم بنى آدم و اصطفى منهم العلماء و اختار أيضا منهم الشهداء و الكرماء وفضل منهم العارفين بالله و الصفات و الأسماء و أذاقهم لذة المحبة و أطلهم حقيقة الأشياء والأرض و السماء. و الصلاة و السلام على سيدنا محمد خاتم الأنبياء, الذي خلق من ذاته ومنه جميع الأشياء, وعلى اله و أصحابه السادات الأولياء و تابع التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Syukur al-Hamdulillah, catatan Biografi ulama-ulama Luak Limapuluh, Luak nan Bungsu ini dapat dihimpun dalam bentuk sederhana, dengan segala keterbatasan.

Adapun catatan ini dihimpun setelah melewati perjalanan yang panjang, dimulai diketika masa-masa belia penulis tinggal dan mengaji di surau. Di tempat ini sering didengar perihal ulama-ulama silam yang dituturkan oleh guru, diceritakan bagaimana keteladanan mereka dalam menuntut ilmu hingga mengajar murid-murid yang banyak, layaknya Alim Ulama suluah bendang dalam Nagari. Setelah bergantinya waktu, memasuki era remaja, penulis berkesempatan mengunjungi dan menziarahi Makam-makam ulama-ulama tua tersebut, serta sempat pula bercakap-cakap dengan pewaris-pewaris surau-surau tua itu. Bukan hanya di Luak Limapuluah, bahkan sampai mengunjungi pusat-pusat Islam di abad-abad terdahulu, semisal di tanah Rao (Pasaman), Kumpulan, Bonjol, Lubuk Landur, Malampah, Jaho, Malalo, Sungai Pagu, Bidar Dalam, Lintau, Simabur dan Pesisir Selatan. Di sinilah kesan yang mendalam itu hadir, seolah-olah tiada mau berpisah dengan mereka para Ulama dan Syekh-syekh tua yang berjasa besar terhadap Islam di Luak nan Bungsu, Minangkabau umumnya, pada merekalah zahir Rahmat Allah. Sebagai Warasatul Anbiya’, pewarisnya para Nabi, kepada merekalah kita berhak bertanya, kepadanyalah kita mesti belajar al-Qur’an dan Sunnah, mereka Ulama, suluh penerang diwaktu malam, tempat bertongkat di waktu siang.

Maka menulis riwayat perjalanan mereka, para ulama-ulama tersebut merupakan sebuah kemestian. Hal ini dilakukan agar kita dapat meneladani pribadi-pribadi mereka, meniru segala amal yang mereka lakukan, hingga hal ini bisa menumbuhkan rasa ghirah (semangat) untuk mendirikan pekerjaan agama, sebagai mana mereka lakukan di masa lalu. Apatah lagi saat ini para pemuda-pemuda tiada mengenal lagi ulama-ulama mereka, jejak Islam di ranah Minang ini, bahkan beberapa orang-orang tua sendiri yang berbarengan hidupnya atau yang bertemu muka dengan ulama-ulama ini tidak mengenal sosok dan bagaimana perjuangan mereka. Hal ini menimbulkan kebutaan terhadap sejarah Islam, bahkan bisa berimplikasi kepada faham keagamaan yang mereka pegang, tidak mempunyai filter, kadang-kadang amalan mereka membelakangi kaji ulama-ulama tua kita dahulu. Sebuah keniscayaan.

Orang-orang tua tempat bertanya hampir pula tiada, surau-surau tua hampir pula rubuh dimakan usia, jejak-jejak Islam masa silam hampir kabur oleh perputaran zaman, maka dengan mencatat riwayat-riwayat lama itu merupakan jalan terbaik, buat menyelamatkan khazanah Islam, kalau tidak disebut memperteguh agama di ranah Minangkabau ini.

Sebenarnya mencatat riwayat hidup ulama-ulama besar adalah kebiasaan alim masa silam. Kadangkala murid-muridnya menulis riwayat hidup guru, ulama lain menulis riwayat ulama sejawatnya, atau pribadi ulama itu sendiri yang menulis autobigrafinya. Hal ini dikarenakan banyaknya manfaat yang bisa dipetik dari riwayat-riwayat ulama tersebut. Salah satunya mendengar riwayat ulama-ulama itu bisa menjadi penyebab turunnya Rahmat Allah. Manfaat lain, adapula sebahagian murid-murid yang mengenang ulama, guru mereka, untuk memperkuat tali temali bathin, memperteguh jalinan rabithah (kasih sayang), agar barokah ilmu itu tidak putus-putus. Dengan mengetahui riwayat hidup ulama dan sanad keilmuan mereka pulalah, niscaya kitapun akan mengenal sumber keilmuan itu secara mantap, tali bertali dari Rasulullah, kepada ulama-ulama, hingga kita sekarang ini.

Faedah mengetahui riwayat hidup ulama-ulama itu diungkapkan dalam Manaqib Syekh Muhammad Saman sebagai berikut :

Adapun kemudian dari pada itu, maka apabila kedengaran bahwasanya pengkhabaran keramat Auliya’ Allah Ta’ala itu jadi sebab turunnya rahmat Allah subhanah wa ta’ala. Dan bahwasanya orang yang mendengar hikayat auliya Allah itu menghilangkan segala sifat mazmumah di dalam hati, daripada riya’, dan sum’ah, dan hubbuddunya (cinta dunia) dan barang yang lainnya. Dan [manfaat lainnya] yang menerangkan hati dengan segala sifat mahmudah (kebaikan), daripada ikhlas, dan zuhud, dan qana’ah, dan sabar, dan tawakkal, dan ridha dan barang sebagainya.
[post_ads_2]
Dan ku dengar pula, bahwasanya anak murid yang dahulu-dahulu itu mengarang mereka itu akan keramat guru mereka itu, serta membaca anak murid mereka itu akan hikayat keramat guru mereka itu daripada kecilnya sampai kepada baligh-nya pada tiap-tiap tahunnya. (Hikayat Syekh Muhammad Samman hal. 3)

Dalam hadist riwayat Ibnu Asakir disebutkan, dari Jabir ra. Rasulullah bersabda :أكرموا العلماء فإنهم ورثة الأنبياء فمن أكرمهم فقد أكرم الله و رسوله


Terjemahannya:

Muliakanlah ulama karena mereka sebagai pewaris para Nabi. Maka siapa yang memuliakan mereka berarti telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya.

(Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad hal. 8)
Dalam Hadist Riwayat Dailami disebutkan pula:ذكر الأنبياء من العبادة, و ذكر الصالحين كفارة, و ذكر الموت صدقة, و ذكر القبر يقربكم من الجنة.

Terjemahannya:

Mengingat para Nabi adalah termasuk ibadah, mengingat orang-orang shaleh adalah kafarat, mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke surga (HR. Dailami dalam al-Jami’us Shaghir Juz II hal. 19)

Dan dalam etika, adab belajar, memang keberadaan seorang guru dan Syekh sangat diutamakan selain ilmu itu sendiri. Disamping adanya nash-nash yang menjadi amar hal demikian, alasan logisnya jika seseorang mengambil sebuah ilmu, maka dia mesti terlebih dahulu kenal dan menambatkan hati kepada ahli ilmu, yakni Ulama, sebelum menuntut ilmu tersebut. Adab berguru inilah yang dipegang erat oleh orang-orang siak masa silam, sampai mati berpantang lepas, hingga merekapun beroleh limpahan berkah yang luar biasa, murid ke murid menjadi Syekh ternama pula, namun sang guru tiada lupa sama sekali. Hal ini kontras sekali dengan apa kejadian hari ini.

Jika Minangkabau disebut sebagai gudang ulama, maka Luak nan Bungsu merupakan salah satu lumbungnya. Di sini pernah bermukim ulama-ulama yang masyhur terbilang, surau-surau besar dengan ratusan orang siak banyak menjamur. Tak terpungkiri Luak nan Bungsu adalah salah satu basis transmisi keilmuan Islam lewat lembaga tradisional Surau yang terkemuka di ranah Minang.

Transmisi keilmuan islam, berarti mentranfer ilmu-ilmu agama kepada generasi selanjutnya, agar tradisi keilmuan itu tidak putus. Setidaknya ada tiga porsi keilmuan Islam yang diajarkan secara mendalam di surau-surau Minangkabau, yangmana Luak nan Bungsu salah satu pusatnya. Pertama ialah pemahaman tentang syari’at, dengan mempelajari secara tuntas fiqih Mazhab Syafi’i. Kedua ialah pemahaman mengenai Tauhid, menekankan aspek akidah melalui “pengajian Sifat Dua Puluh” dan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunni). Dan ketiga pengamalan Tasawwuf lewat Tharikat-tharikat Mu’tabarah. Di hampir semua surau-surau lama ketiga porsi keilmuan ini diajarkan secara tuntas, walaupun dibeberapa surau telah mengambil spesialis keilmuan tertentu, seperti Nahwu, Tafsir, Ma’ani dan lainnya, namun ketiga porsi ini tetap medapat tempat di surau-surau tersebut.

Dengan demikian jelas, surau-surau Minangkabau sangat kuat memegang tradisi Sunni; bersyari’at dengan Fiqih Syafi’i, berakidah sesuai dengan faham Asy’ariyah dan mengamalkan salah satu Tharikat Sufiyah sebagai sebuah kearifan Tasawwuf. Itulah sebabnya kenapa ulama-ulama surau ini kuat pendirian ketika munculnya beberapa kecaman dari kaum Modernis (kaum muda), karena memang sejak dulu Ahlussunnah telah mapan di ranah Minangkabau ini.

Itulah yang dipegang oleh umat Islam di bukan hanya di Luak nan Bungsu, Minangkabau, bahkan di negeri permai Nusantara ini, diakui sejarawan manapun. Ketika terjadi Sumpah satie Bukik Marapalam, pengukuhan pertalian adat dan syara’ di Minangkabau di Bukit Marapalam – Lintau setelah masa perang Paderi, disebut bahwa yang dimaksud dengan syara’ nan lazim, adat nan kawi itu ialah agama Islam dengan I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah dan atas Syari’at menurut Mazhab Syafi’i, bukan Syi’ah atau Mu’tazilah. Dipotong kerbau, dagiang dilapah, darah dicacah, tanduak dibanam ka tanah, dimulai jo fatihah disudahi jo do’a, sia nan malangga akan dimakan biso kewi, kaateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, ditangah digiriak kumbang... begitulah adanya ulama-ulama tua kita silam.

Dengan demikian, mengkaji ulama, apakah dari segi biografinya, jaringan keilmuannya hingga peninggalan tulisan yang pernah ditinggalkannya, sangat penting, demi untuk meneladani hingga merekontruksi jalannya agama Islam di Minangkabau, negeri emas ini. Apatah lagi bagi kita –Minangkabau- yang pernah “Jaya” dengan ulamanya, jika hendak kembali menegakkan Adat basandi Syara’-Syara’ basandi Kitabullah, Babaliak ka surau. Menelusuri jejak Ulama, silsilah ilmu mereka, berati mengkaji keilmuan mereka yang luar biasa dalamnya; yang mereka tuangkan dalam naskah-naskah Tua, kearifan ulama, warisan yang mesti dijaga oleh kita.

Maka penulis berusaha menuangkan setiap derai untaian orang-orang tua, rangkaian riwayat yang bercerai berai dan diulas pula dengan keterangan-keterangan dari bibliografi-bibliografi yang ada. Maka jadilah sebuah cacatan kecil, Catatan Biografi ulama-ulama Luak nan Bungsu, Luak Limapuluhkota.

Sekiranya ada ungkapan yang lebih dalam dari ucapan terima kasih, maka penulis akan haturkan kepada kedua orang tua penulis yang telah berjasa mengasuh dan mendidik penulis selama ini. kemudian rasa terima kasih yang sebesar-besarkan kepada guru-guru penulis, baik di lembaga formal maupun non formal. Khususnya kepada guru-guru penulis tercinta al-Marhum Tuanku Mudo Rasyid Zaini (w. 2008), Tuan Guru Ulak Karang – Indobaleh Mungo, Mursyidina Alismi Tuanku Boncah di Taeh Baruah – Payakumbuh, Syekh Tuanku Mudo Nahrawi di Batu Berair Mungo, Buya mudo Muhammad Zaki Umaro di Situak dan kepada yang mulia, yang karam dalam lautan ilmu, Buya Drs. H. Ahmad Zaini di Padang.

Kemudian penulis mengucapkan kepada alim ulama, khalifah-khalifah dan para zuriyyat ulama-ulama tersebut yang telah berkenan menerima penulis dengan ramah ketika berziarah dan menggali informasi, begitupula segala pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan catatan biografi ini. Terutama kepada Tuan Syekh Abu Bakar Tuanku Saidina Ibrahim (khalifah ke-IV Syekh Ibrahim Kumpulan) di Kumpulan – Pasaman, Buya H. Anas Malik (cucu Syekh Mudo Abdul Qadim Belubus) di Belubus – Payakumbuh, Buya Mushaddiq di Tabek gadang, Buya Nasribei di Padang Kandih, Buya Abdullah Hukum di Malampah – Pasaman, Buya Abusidar di Koto Kandih – Pesisir Selatan, khalifah dari Syekh Zakaria Labai Sati Malalo - Tanah Datar, Tuanku Qadhi Tanjuang Ipuah – Pariaman, Tuanku Imam Padang Sarai – Padang, anak cucu dari Syekh Mohammad Arif Sampu – Solok Selatan, Buya Tigo Jangko – Lintau dan lain-lainnya. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak , “Dr” Pranomo (Fak. Sastra UNAND), Drs. Yulizal Yunus, M. Si (Lemlit IAIN Padang), Dr. Ahmad Taufik Hidayat dan bapak Sofyan Hadi, SS, M. Hum (PPS UIN Syarif Hidayatullah – Ciputat), dari mereka penulis mendapat dorongan dan semangat untuk menggali khazanah ulama-ulama silam. dan segenap pihak yang penulis libatkan dalam penulisan biografi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam kesempatan terbatas ini.
[post_ads]
Demikianlah, semoga catatan Biografi ini bermanfaat hendaknya kehadapan masyarakat banyak. Penulis berdo’a dengan penulisan riwayat ulama-ulama ini, penulis, begitu juga para pembaca memperoleh limpahan barokah dan rahmat berkat tuah Nabi Besar Muhammad SAW, dan para pewaris beliau, para ulama. Amin...

Terakhir penulis mengutip ungkapan guru kita Syekh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang masyhur dengan gelar “Inyiak Canduang”, yang memesankan kita untuk tetap istiqamah:

Jalan jan diasak urang lalu,
Cupak jan dipapek rang manggaleh,
Kaji jan diubah pakiah singgah.

Dan dalam penutup kitab Tsabitul Qulub, yang mulia Syekh Mudo Abdul Qadim (w. 1957) “Beliau Belubus” berujar: “Pegang Syari’at Tubuh nan kasar, pegang tharikat tubuh nan halus, pegang Hakikat tubuh nan Bathin, pegang Ma’rifat Tuhan nan punya pegang. Dicari pengenalan di dalam zikir, dipakai di dalam sembahyang, disudahi tatakalo nyawa berpulang kerahmatullah…”

Kitapun akan teringat dua bait sya’ir pada sampul Tanbihul Awam-nya Syekh Muhammad Sa’ad Mungka:لي سادة من عزهم أقدامهم فوق الجباه
إن لم أكن منهم فلى فى حبهم عز وجاه

Pakan Sabtu – Mungo, 2010
Ditulis ditangan Faqir yang Karam dalam lautan dosa
Apria Putra

Sumber   :    http://surautuo.blogspot.com/


EmoticonEmoticon